3

328 57 59
                                    

"Mencari buku prosa? Cuma itu?"

"Ya. Dan beberapa referensi lain. Kau cuma perlu ikut denganku."

Dahi Damar mengerut tidak mengerti saat itu. "Itu akan makan waktu satu semester?"

Riga menggeleng. "Sebulan," katanya. "Atau bisa jadi lebih cepat. Kalau semua sudah beres kau bisa melenggang semaumu."

"Dan nilaiku tetap akan A?"

"Nilaimu akan A." Senyumnya terbersit. "Cuma itu yang kau khawatirkan ya?"

Apa boleh buat. Ekstrakurikuler itu wajib setiap semester. Mendengar kabar mengenai anak kelas tiga yang terancam tidak lulus semester kemarin cuma gara-gara abstain nilai eskul membuat  semua siswa lain langsung membuat catatan mental.

"Tapi kalau kau berhenti di tengah jalan, perjanjian kita otomatis batal. Bagaimana?"

"Deal."

"Oke. Besok datang lagi ke sini di jam yang sama. Sekalian bawakan tang dan obeng."

Kalau dipikir-pikir lagi, Damar agak menyesal saat itu tidak meminta agar mereka melakukannya hitam di atas putih. Kalau perlu merincikan poin demi poin, klausul demi klausul. Perjanjian verbal selalu rawan. Dan tidak ada orang yang bisa dipercaya di bawah atap Edelweiss.

Tidak satu pun kecuali Reno, mungkin. Yang barusan mengirim chat mengingatkan Damar supaya jangan telat kumpul sore nanti di rumahnya.

Damar lanjut melempari kerikil ke sungai usai mengecek ponselnya. Namanya Riga, huh. Riga seperti ibukota salah satu negara baltik itu? Seperti kota indah di pinggir sungai yang masuk daftar tempat yang ingin Damar kunjungi dalam angan-angan?

Suatu saat Damar ingin bisa datang ke situ.

Satu lemparan kerikil.

Damar mengawasi langit yang mulai mendung. Ia masih enggan untuk beranjak dari bangku kayu di pinggir sungai itu. Bangku dengan desain serupa kursi taman hanya saja dengan modifikasi kaki agar tidak mudah terperosok ketika tanah di sini basah berlumpur oleh hujan.

Damar menukangi bangku itu sepenuh hati demi mengakomodasi kebiasaan anehnya menikmati panorama sungai berair kuning itu. Sungai jelek. Tentu akan jauh berbeda dengan sungai di Riga, pikirnya.

Langit bergemuruh.

Sepertinya Damar harus pergi lebih awal ke rumah Reno sebelum keburu hujan.




***





"Kau kehujanan."

Damar mendecak. Ia benci sekali dengan hujan yang datang tanpa didahului gerimis. Maksudnya, apa-apaan di lampu merah tadi sekonyong-konyong badai?!

"Padahal masih sejam lagi baru kita mulai kerkom-nya."

"Iya, tadi aku pikir mending datang duluan sebelum hujan," gerutu Damar. "Kalau menunggu reda pasti telat. Nggak enak kalau aku telat padahal kalian reschedule gara-gara aku."

"Ke sini," kata Reno menunjuk keset di sebelah pintu. Ia memberi handuk. "Kalau udah nggak netes lagi, ambil kaos di kamarku."

"Makasih."

Rumah Reno mendatangkan nostalgia yang cukup besar. Damar ingat ia sering main ke sini sejak SD sampai SMP. Begitu masuk SMA, Reno terasa agak jauh meski mereka masih sering bertemu di sekolah. Tapi itu karena Damar juga jadi lebih sering sibuk membantu pekerjaan kayu ayahnya.

Dan seiring waktu mereka punya perbedaan yang semakin mencolok. Sesibuk apapun, Reno selalu rajin ke sekolah dan menjaga kehidupan akademiknya. Damar di sisi lain lebih rela absen demi upah harian dan menganggap teori akademis tidak ada gunanya bagi masa depannya. Dilihat dari manapun, mereka jenis yang biasanya tidak akan tergabung dalam satu sirkel pertemanan.

AitreyaWhere stories live. Discover now