Em \\ he was the one who watched her shined after the clouds

Start from the beginning
                                    

Sebagai seseorang yang masih mencinta, apabila kesempatan kedua datang padanya, Jaehyun bersumpah akan memberi cinta pada perempuan itu dengan sebenar-benarnya.

Dan, sebagai seseorang yang mengaku belum menyerah, untuk merealisasikan itu, Jaehyun gunakan jadwal ibadah minggu kali ini untuk mencuri kesempatan duduk di belakang perempuan tercinta.

Ketika sebatas memandangi punggung dan rambut, dirasa tak cukup, Jaehyun berpindah, mengisi tempat kosong tepat di sebelahnya, memandanginya yang tengah khusuk berdoa, lalu ikut menangkupkan kedua tangan.

Berdoa.

Jika, Rose barangkali mendoakan Jaehyun agar merana selamanya, sebaliknya, Jaehyun doakan perempuan itu agar senantiasa bahagia.

Lalu, ketika membuka mata, mereka menoleh dan memandang satu sama lain.

Jiwa seorang lakon agaknya masih melekat pada diri perempuan itu sehingga ia tak nampak terkejut ketika menemukan Jaehyun. Ia begitu santai dan tenang, tetapi juga dingin.

Gosip tentang mereka di kalangan warga lapas mungkin akan makin tumbuh subur setelah ini. Tapi, Jaehyun tidak peduli.

Memandang perempuan tercintanya dari dekat seperti ini adalah momen langka. Jaehyun tidak mau membuat itu menjadi sia-sia. Saku jas dirogoh, sebuah benda dikeluarkan.

"Menikahlah denganku, Rose."

Jaehyun sodorkan cincin di atas telapak tangan kanannya.

Nihil tanggapan. Perempuan itu nampak tenang dalam kebisuan ketika Jaehyun payah dalam keributan di dalam dada dan kepala.

Memalingkan wajah. Menatap lurus ke depan. Cincin, diabaikan.

Lirih, perempuan itu katakan, "Mengapa harus aku?"

Jaehyun yang mulai berpikir bahwa kali pun tidak akan bermuara ke arah yang berbeda dari sebelumnya, bahwa penolakan akan menjadi jawaban yang pasti ia kantongi pulang, dan bahwa ia cukup malu ketika di sini mereka mulai menjadi pelabuhan bagi setiap pasang mata memandang;

dengan raut putus asa, kembali menarik benda kecil berkilauan yang sempat ia sodorkan. Jemarinya menggenggam itu kuat-kuat, agar hatinya pun, di dalam menerima kecewa, turut serta kuat.

"Saat kita di Belanda, aku berjanji akan menikahimu. Kamu lupa?"

"Hm. Aku lupa. Aku cukup pelupa, kamu tahu itu betul. Yang aku ingat hanya, aku menyuruhmu menemukan perempuan yang lebih baik dariku."

"Kamu yang terbaik."

"Bagaimana dengan perempuan yang kamu tidur bersamamu saat tahun pertama kuliah? Apa dia tidak cukup baik?"

Hening berkepanjangan. Jaehyun bungkam, memandang nanar perempuan yang masih setia menatap lurus ke depan sekaligus memberi waktu pada akal untuk memanggil kota kata yang mendadak seolah pamit.

"Itu hanya 'kecelakaan' saat pesta dengan teman-teman. Aku mabuk dan ...."

"Di antara dua puluh enam siswa di kelas kita, pada saat pembagian kelompok tutor sebaya kala itu, mengapa kamu harus memanggil namaku?"

Jawaban yang susah payah dirajut akal belum juga selesai dilisankan, tetapi Jaehyun sudah saja disuguhi dengan lain pertanyaan.

"Mengapa dulu kamu memberiku les privat? Mengapa kita harus menjadi dekat? Mengapa kamu menyusulku ke pusat kota? Mengapa kamu berdiri di sebelahku, menyaksikan karnaval dan pesta kembang api bersamaku? Mengapa mengajakku berkencan? Mengapa menciumku? Mengapa?"

SERENADE IN E MINOR [END]Where stories live. Discover now