Seriously, Trapped?

20 4 0
                                    

"Kamu harus tahu cara mengendalikan diri." Perkataan singkat nan tajam itu memasuki indera pendengaranku, seiringan dengan langkah yang terus mendekat.

Aku mendengkus, sudah pasti Vernon Wiranda segera datang tatkala mendengar kabar bahwa sahabat karibnya mengamuk, lagi. Ini memang bukan kali pertama amarah berhasil mengambil alih atas kontrol yang kupegang. Seharusnya, laki-laki dengan rambut hitam kecoklatan itu terbiasa.

"Coba kau rasakan sekali hidup dalam dunia temaram itu, Vern, lalu mari kita lihat apakah kata-kata tadi bisa kau haturkan kembali atau tidak," tantangku. Tentu, tidak semua orang dapat memahami apa yang sebenarnya kupertaruhkan dalam tiap-tiap balapan liar yang kuikuti. Orang-orang kaya yang mempermainkan mereka yang butuh, mengaturnya seperti budak hanya untuk memenuhi hasrat kemenangan dari judi; semata-mata untuk membuktikan bahwa pionnya yang akan menang. Membuktikan bahwa ajarannya tak pernah sia-sia dan uang yang dikeluarkan akan kembali dua kali lipat.

 Membuktikan bahwa ajarannya tak pernah sia-sia dan uang yang dikeluarkan akan kembali dua kali lipat

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

"Aku sudah bilang," ucap Vernon terdengar pasrah. "Kau bisa bekerja denganku, tak perlu menjadi pion yang harus memenangkan segala pertandingan dan berakhir ribut karena mereka yang kalah tak terima lantas menghinamu."

Gampang sekali bagimu berbicara, Tuan Muda. Aku hanya bisa mengucapkan kalimat sarkas itu dalam hati, tak tega hati membalas kekhawatiran sang teman dengan ucapan nyeleneh seperti itu. Walau perasaanku tetap sama, sebal akan raut kasihan.

"Tidak apa-apa," sahutku cuek, "aku senang melakukan ini. Keluargaku terjamin hidupnya, aku bisa tetap bersenang-senang pula. Bukankah ini surga sebenarnya?"

Raut wajah Vernon seakan terhenyak tatkala mendengar ucapan penuh dusta. Ia jauh lebih paham betapa muaknya aku karena masih harus terjun dalam dunia murahan ini, satu-satunya tempat yang menawarkan solusi untuk dapat menyekolahkan sang kakak ke perguruan tinggi.

"Malvin," panggil Vernon pelan.

Aku kini beralih kesibukan. Menatap luka yang terpampang kembali pada salah satu pipi. Bukan masalah, luka ini akan segera hilang seperti luka-luka lainnya.

"Malvin Pratama," panggilnya lagi, aku pun berdeham pelan sebagai respons.

"Bagaimana rasanya menjadi orang yang begitu membutuhkan tetapi memiliki ego bak Dewa Zeus?"

Petir terasa tiba-tiba menyambar, darahku mulai mendidih mendengar pernyataan kurang ajar dari sang lawan bicara. Sialan, setelah aku berusaha menahan diri untuk tidak berkata kasar dan kini ia melakukan yang sebaliknya?

"Kakakmu pasti kecewa kalau tahu saudaranya melakukan hal kotor seperti ini. Demi mengantarkan kepada gerbang impian, katanya? Bahkan kakakmu itu bisa muntah kalau mendengar alasan konyolmu itu, Malvin. Hanya demi egomu yang tak seberapa, hanya demi membuktikan ke dunia bahwa kau baik-baik saja tanpa bantuan orang lain, kau rela mengambil risiko untuk mengecewakan sang kakak tercinta?"

Aku mengepalkan tanganku erat. Menonjok Vernon adalah salah satu dosa terakhir yang ingin kulakukan. Sudah terlalu banyak hal yang Vernon lakukan demi diriku, demi membantu si miskin yang banyak gaya ini, aku tak bisa melibatkannya lebih jauh. Tetap tidak bahkan ketika aku tahu kekayaannya takkan habis tujuh turunan.

Seriously, Trapped?Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz