Bab 1B

509 110 1
                                    

Happy reading, semoga suka.

Yang mau baca duluan, di Karyakarsa sudah update bab 3-4, part2 ini mengandung adegan 21+

Yang mau baca duluan, di Karyakarsa sudah update bab 3-4, part2 ini mengandung adegan 21+

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Luv,

Carmen

_______________________________________________________________________________

Kami duduk sejenak dalam kebisuan, meminum bird an menonton highlights tentang pertanding football. Pria itu adalah salah satu penggemar olahraga ini dan walaupun aku tidak begitu tertarik pada permainan ini, aku membiarkannya berbicara dan menjelaskan aspek permainan ini padaku. Ketika highlights berakhir dan berganti ke permainan bola basket, pria itu kemudian mematikan suara televisi sebelum menoleh padaku. Tangan pria itu bergerak ke belakang punggung kursi bar yang sedang kududuki sementara lutut-lutut kami bersentuhan. Aku sedikit gugup saat menatap mata hijau dalamnya itu. Tapi dia tampak sangat serius. Lalu... "Aku dan Siri sudah putus."

"Oh, ya ampun, Flynn. I am sorry to hear that."

Pria itu mengedikkan bahu. Lalu meraih minumannya dan memutar-mutar botol bir dingin itu di tangannya.

"Jadi dia memutuskanmu sebelum kau datang ke kantor? What a bitch." Aku menepuk pelan lutut pria itu. Aku sebenarnya tidak begitu mahir dalam menghibur seseorang.

"Sebenarnya sudah tiga minggu berlalu."

"Apa?" kesiapku. "Kau serius? Kenapa kau tidak memberitahuku?"

"Maaf, tidak terpikirkan olehku sebelumnya. Maksudku, bagaimana aku harus mengatakannya? Hai, apa kabar? Kau menonton pertandingan tadi malam? Oh ya, ngomong-ngomong, Siri mencampakkanku."

Kali ini aku menatapnya dengan agak tersinggung. "Kupikir kita teman." Entah kenapa, suaraku terdengar lebih kasar dari yang seharusnya.

"Tentu saja kita berteman. Maaf, aku yang tidak sensitif. Mungkin aku hanya tidak ingin mengingatnya. Lagipula, kurasa aku lebih baik tanpa dia."

Aku membalas senyum pria itu. "Yeah, aku setuju. Tapi kalau sudah tiga minggu, mengapa tadi pagi kau tampak kesal?"

"Dia meneleponku."

"Apa? Siri? Apa yang dia inginkan? Dia ingin balikan?" Aku kembali menenggak bir dari botol, nyaris lupa kalau birku masih tersisa setengah botol.

"Aku tidak tahu. Awalnya dia bersikap sangat manis dan baik. Lalu dia mulai kesal dan menuduhku sebagai mantannya yang paling berengsek, bahwa aku selalu sibuk bekerja dan sering mengabaikannya - which is not really true. Well, aku memang sibuk tapi aku selalu berusaha ada untuknya. Mendengar tuduhan-tuduhan itu, aku jadinya semakin kesal. Dia yang memutuskan hubungan kami tapi berlagak seolah-olah aku yang mencampakkannya. Dasar wanita aneh!"

"Fucking bitch."

Flynn tertawa. "Ya, jalang dari yang paling jalang."

"Dia memang Ratu Jalang," ucapku membela pria itu. Aku menepuk lututnya lagi dalam usahaku untuk menghiburnya. "Jangan cemas, masih ada banyak wanita di luar sana yang bisa kau pilih, tidak usah jauh-jauh, kau punya banyak karyawan waitress di sini, yang cantik-cantik lagi."

Flynn menggelengkan kepalanya. "Tidak. Para waitress di sini sepertinya sama bermasalahnya dengan Siri."

Aku tertawa mendengarnya lalu mendekatkan botol birku padanya dan mendentingkannya. "Ayo, bersulang saja. Anggap saja kau sudah bebas dari wanita yang mengerikan."

Kami kemudian kembali menonton televisi tapi aku masih bisa merasakan lengan pria itu di punggung kursiku. Kami menonton dalam diam, televisi masih tanpa suara, menikmati kenyamanan kecil ini. Aku lalu menyandarkan punggungku, lengan pria itu terasa kuat dan hangat dan aku bisa merasakan tangannya di lengan telanjangku.

"Kau tahu apa yang paling kurindukan?" tanya Flynn sesaat kemudian.

"Apa? Memiliki seseorang yang bisa menggantikan tisu toilet untukmu?" ejekku sambil mendengarnya tertawa keras.

"Ya, ya, itu juga, tapi apa lagi, coba?" tanya pria itu lagi sambil menunggu responku.

"Aku tidak tahu," jawabku. "Apa?"

"Berciuman," jawabnya kemudian.

"Kau rindu mencium Siri?"

"Bukan, tidak tepat seperti itu. Maksudku, aku hanya rindu berciuman dan memiliki seseorang yang bisa kucium kapan saja aku menginginkannya," jelas pria itu.

Pengakuan pria itu menohokku. Aku dan kekasihku – Roger – berpisah enam bulan yang lalu dan sejak saat itu, aku masih lajang. Aku tidak lagi merindukan Roger tapi tentu saja aku terkadang rindu memiliki seseorang, rindu untuk memiliki kekasih, rindu pada hal-hal yang bisa kami lakukan bersama, seperti misalnya berciuman.

"Apakah kau merindukan Roger?" tanya Flynn, seolah dia bisa membaca pikiranku. Dia mengenal Roger sedikit dan tak pernah mencoba menutupi kenyataan bahwa dia tidak menyukai mantanku itu.

"Tidak," akuku. "Tidak lagi."

Aku menoleh sekejap padanya lalu mengalihkan tatapku lagi. Pria itu sedang menyeringai dan menurutku, dia terlalu dekat dan terlalu menggoda dari jarak sedekat ini. Entah kenapa, aku bisa berpikir hingga ke sana, tapi seperti itulah yang kurasakan.

"Aku seperti mendengar kata tapi," lanjut pria itu.

Aku mengangkat bahu, masih menghindar untuk bertatap mata dengannya. "Ya, aku rindu memiliki seseorang, sepertimu, tentu saja. I think I miss the sex too."

Ucapan terakhirku itu berhasil membuat pria itu tersedak.

Aku tertawa menanggapi reaksinya sementara pria itu meletakkan kembali botol bir, buru-buru menenangkan napasnya dan menatapku tanpa kata, mata hijaunya melebar seolah terkejut.

"Apa?" tanyaku sambil tertawa lagi. "Itu kenyataannya."

"Aku tidak percaya bisa mendengarmu berkata seperti itu," ujar Flynn kemudian saat berhasil menemukan suaranya lagi.

"Kalau kau sudah sendirian cukup lama, percayalah, kau juga akan setuju denganku."

"Sial. Aku baru saja lajang selama tiga minggu terakhir dan aku sudah terpaksa setuju denganmu."

Aku menatapnya sambil menyengir. "You poor man."

Dia kembali tertawa tapi tidak lagi mengatakan apapun. Kami kembali terdiam, menikmati momen bisu di antara kami, merasa nyaman dan juga santai, menikmati bir dan menikmati keberadaan satu sama lain.

Seharusnya terasa aneh duduk di dalam gelap seperti ini, dengan lengan pria itu di sekelilingku tapi rupanya tidak. Bagiku, hal ini malah terasa nyaman. Walaupun pria itu adalah bosku, tapi kami sudah berteman dan bekerjasama lumayan lama dan jujur saja, aku lebih menyukai Flynn dari semua pria yang pernah kukencani. Flynn adalah tipe pria dengan kepribadian kuat, dia sangat bisa diandalkan, setia dan berdedikasi, sedikit serius, mungkin - tapi memiliki selera humor yang sangat baik sehingga aku tidak pernah bosan berbicara dengannya. Ditambah lagi, dia selalu memberiku bir dingin, tahu apa yang harus diucapkannya untuk membuatku bertambah baik setiap kali aku mengalami hari yang buruk dan selalu menjadi teman yang baik alih-alih bos yang arogan.

"Apa ini?" tanyaku setelah beberapa saat, terlalu takut untuk menoleh dan menatapnya.

"Apanya yang apa?" tanya pria itu dengan suara yang lebih dalam dan serak dari biasanya.

"Ini... apapun ini... kau tahu, antara kita. Apa ini?"

Pria itu mengeratkan lengannya di sekelilingku lalu memutar kursi barku agar kami saling berhadapan dan lutut-lutut kami saling bertabrakan. Tangannya yang lain bergerak ke sisiku dan mengelus sepanjang lengan telanjangku, membuat seluruh bulu roma di tubuhku berdiri. "Aku tidak tahu," bisik pria itu kemudian, tapi ekspresi wajahnya tampak lembut dan matanya menghangat, ada kilat di kedua kedalaman mata hijaunya itu. "Kau ingin mencari tahu?"

"Hell, yeah, Flynn," bisikku lalu.

Scandalous Love with The BossWhere stories live. Discover now