[2] Special Husband

85 0 0
                                    

Dengan mata berkaca-kaca, William menghentikan kalimatnya sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam dan dua wanita itu kini menatap iba. "Sulit mencari sosok yang cocok untuk putra saya yang memiliki ... sindrom autisme."

Itu mengagetkan keduanya, meski dilihat dari foto pria muda tampan tadi memang ada penampilan tak biasa. Ia berpenampilan dan berperilaku seperti anak-anak.

"Maaf saya diam-diam memperhatikan kalian dalam diam, tak langsung begini karena saya benar-benar tak ingin menunjuk orang yang salah. Memang kurang ajar, saya sadari, bahkan melihat kalian kelaparan akhir-akhir ini ... saya ...."

"Pak, tenangkan diri Anda. Saya paham perasaan Anda, Pak. Karena, saya juga orang tua ... orang tua yang merawat anak-anak berkebutuhan khusus. Ketakutan terbesar memang kala mereka jatuh ke tangan orang yang salah." Ibunda Ella tersenyum sendu.

William mengulum senyum. "Terima kasih, Bu."

Ibunya menatap sang putri. "Dan soal menikah ... saya tak akan memaksa Ella, biarkan kata hatinya yang berbicara."

"Dan oh, kalaupun kalian menolak, tak masalah, saya tetap akan memberikan donasi sesuai janji saya." Langsung sang pria menimpali.

Jantung Ella berdegup, matanya tersirat rasa iba dan bersalah. Ia sedari awal sudah tak enak hati menolak, dan kemudian ia mengingat putra William tadi ....

Mengingat perkataan pria tua itu tadi ....

Ia melihat pula anak-anak yang kini lebih bergembira karena mainan serta makanan yang mereka dapatkan.

"Iya, Pak. Saya bersedia menikah dengan Donovan, putra Bapak." Ia tersenyum hangat.

"Ini ... bukan karena kamu iba mendengar ungkapan saya atau soal donasi, kan?" tanya William spontan.

Ella tersenyum hampa. "Saya gak bisa berbohong soal itu, Pak. Tapi selain demikian, saya juga ingin membantu Bapak. Lagi, saya dan anak Bapak tak saling mengenal, jika Bapak mengerti saya tak punya alasan lain selain ingin membantu Bapak. Bunda bilang, cinta bisa kapan pun, jika dia memang jodoh yang dikirimkan Tuhan kepada saya ... saya menerimanya."

"Saya benar-benar suka attitude kamu!" William menyeka air matanya dengan kain di balik jasnya, setelahnya ia masukkan lagi.

"Tapi, kalau saya menikah nanti ... apa saya akan berpisah dengan anak-anak dan Bunda, Pak?"

"Ella, jika kamu menikah, prioritas kamu itu suami kamu dan keluarga kamu nanti."

"Bunda dan anak-anak juga keluarga aku, Bunda ...."

"Ella, kamu tenang saja, saya sudah mempersiapkan pegawai untuk panti asuhan, segalanya, juga renovasi. Lalu, kamu jangan khawatir, mungkin kamu berpisah dengan ibu dan anak-anak ... tapi saya gak akan melarang kamu menemui mereka kapan pun kamu mau asalkan kewajiban kamu sebagai istri anak saya terlaksana. Oh, tak hanya istri ... Dodo juga perlu sosok ibu dan penuntun."

Ella masih kalut dengan isi pikirannya.

"Mm ... baiklah ...."

Tercetak senyuman bahagia di wajah William.

"Kalau begitu ... besok saya akan datang lagi bersama putra saya." Pria itu lalu berdiri dari duduknya, menyalami keduanya, sebelum akhirnya pergi bersama para pria berjas itu meninggalkan mereka dalam kebahagiaan yang bercampur kebingungan.

"Bunda ... apa enggak apa-apa?"

"Memang seharusnya wanita seusia kamu memiliki pasangan, Ella. Bunda seneng, kok ... Bunda malah sedih kalau kamu sendirian karena mengurus ini, bikin Bunda merasa bersalah."

Ella menghela napas panjang. "Tapi nanti aku pisah sama Bunda dan anak-anak ...."

"Kamu lupa kata Pak William tadi?" Soal ia memperbolehkan Ella mendatangi tempat ini kapan pun. "Bunda dan anak-anak juga bakal ngunjungin kamu kalau ada waktu, kalau diperbolehkan."

"Mm ... iya, Bun." Sekali lagi, Ella menghela napas. "Omong-omong, aku penasaran Bunda. Sama cowok tampan di foto, dia kelihatan normal dan tak aku sangka ... Bunda beneran gak keberatan?"

"Lho, gak boleh nge-judge orang begitu Ella."

"Ma-maaf, Bunda ... aku gak bermaksud."

"Ah ... Bunda paham maksud kamu, Sayang. Tapi, bagi Bunda, selama kamu menerima dan dia memang jodoh yang ditakdirkan Tuhan ... jalani saja. Dia tetaplah makhluk Tuhan, Tuhan selalu memberkati kalian." Ella tersenyum simpul. "Semua orang istimewa, semua orang spesial."

Ella memeluk wanita tua yang melahirkannya itu.

Setelah melepaskan pelukan, sang wanita berkata, "Ayo, kita urusin anak-anak, aduh liat mereka! Kesenangan banget!" Ella tertawa melihat kebahagiaan itu, dan mereka pun mulai menghampiri anak-anak.

Isi tas tersebut tak hanya makanan kotak ataupun mainan, nyatanya ada banyak makanan mentah yang siap dimasak. Kebahagiaan-kebahagiaan keluarga besar di panti asuhan itu masih bertambah meski Ella masih terisi kekalutan di dalam dirinya.

"Bunda, katanya ... Bunda Ella mau nikah, ya?" tanya salah satu anak remaja, anak-anak yang mendengar itu terkejut sementara dua wanita itu sendiri terperangah. "Maaf, Bunda ... aku kurang ajar nguping kalian ... cuman apa itu bener? Kalau Bunda nikah ... Bunda Ella bakal ninggalin kami?"

Pertanyaan itu berhasil menyayat hati Ella, anak-anak yang tadi hanya bermain atau memakan makanan mereka langsung berdiri, dalam diam mereka berhamburan memeluk Ella, pun kemudian menangis.

Hati Ella semakin sakit mendengarnya ....

"Jangan tinggalin kami, Bunda! Kalau Bunda pergi siapa yang bakal nyanyi bareng aku?"

"Iya, siapa yang bakal bacain aku cerita pas mau tidur?"

"Siapa yang bakal negur aku pas aku nakal?"

Pertanyaan demi pertanyaan yang mengiris benaknya keluar, inilah yang Ella takutkan.

"Sayang, Kakak-kakak, Adik-adik," panggil sang ibunda lembut, mereka yang menangis menggerubungi Ella menoleh. "Bunda bukan pergi, tapi cuman enggak tinggal sama kita-kita lagi soalnya dia harus ngurus suaminya, Sayang. Dia bakal ngunjungin kita, kok, kalau ada waktu."

"Nanti Bunda sendiri, gimana, dong?" tanya anak lain.

"Enggak, Bunda enggak sendiri. Nanti bakalan ada bunda-bunda baru yang baik buat kalian!"

Mereka serempak menggeleng.

"Kami enggak mau bunda baru, kami mau Bunda Ella aja!" kata salah satu anak lagi, semuanya kembali menangis dan menggerubungi Ella.

"Bunda, jangan tinggalin kami!"

"Bunda!"

"Bunda!"

Ella juga tak ingin ... tetapi ia terpaksa. Banyak alasan yang membuatnya harus menerima pernikahan ini, terlebih ada keringanan di sana.

Ia harus mencari siasat.

"Anak-anak, dengerin Bunda," kata Ella lembut, anak-anak yang masih sesenggukan menurut untuk mendengarkan Ella dengan saksama. "Kalian ingat, gak, pertama kali kalian datang ke sini ... gimana sikap kalian ke Bunda sama Bunda Ella?" Ella tersenyum, anak-anak pun mulai menerawang masa lalu mereka. "Dulu, kalian ada yang takut ... ada yang gak mau ketemu Bunda, ada yang gak mau makan, ada yang ... yah, gak mau karena kami masih orang asing bagi kalian. Susah ngebujuk kalian sampai akhirnya ... lama-kelamaan kalian terbiasa hingga kita seakrab ini. Jadi, apa salahnya sama bunda baru?"

Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991

Baby Don't Kiss! [21+]Where stories live. Discover now