Harus Pulang

9 0 0
                                    

Hari yang yang sangat cerah di Melbourne, mungkin bisa dikatakan panas. Hari hari yang seharusnya sangat menggembirakan setalah lulus kuliah, tapi aku merasa hari hari yang membosankan. Bokap mengirimku kesini untuk melanjutkan ke S2 di Monash University, tapi aku masih belum menentukan apa yang akan aku ambil. Bahkan aku masih belum memutuskan untuk meneruskan S2 atau tidak.

ITB Informatika sungguh memeras otakku selama 3,5 tahun, programming,  jaringan komputer,  keamanan online merupakan makanan sehari hari. Aku menyukainya, sesuai dengan karakterku yang kata psikholog adalah introvert, tak suka berteman dengan manusia, tak suka berbasa basi, tak suka pula aku party party. Menurutku Komputer dan jaringannya lebih mudah untuk di mengerti, selalu menurut dengan apa yang di perintahkan, apabila tidak, maka yang salah ada yang membuat programnya.

Rasanya aku sudah cukup untuk mengetahui dan mempelajari dan bahkan mempraktekkan ilmu yang kudapatkan di ITB. Bahkan sudah ada beberapa client start up yang menggunakan keahlianku. Tapi Bokap membujukku untuk sekolah lagi kesini, heran, orang tua itu suka menyetir hidupku seenaknya.

Hubungan dengan Bokap sebenernya baik baik saja, tapi si tua bangka itu terlalu sibuk dengan kerjaannya, bahkan untuk berbicara saja harus minta waktu ke Personal Asistennya. Handphone dipegang sama P-A nya selama jam kerja yang hampir 24 jam. Kadang aku berpikir kenapa mau punya anak kalau gak pernah punya waktu buat ngobrol. 

Aku menduga Ayah pasti suka tidur bersama asisten pribadinya yang berpakaian formal tapi sexy itu. Aku sebenarnya tak peduli karena Ibu sudah meninggal waktu melahirkanku, jadi aku bisa mengerti kalau dia punya pacar lagi, atau bahkan kawin algipun aku gak masalah. Jangan sampai cuma pacaran terus hamilin anak orang . 

Pernah aku bicara begitu sama Ayah, dan dia cuma tertawa saja terus membalas, kamu sudah lepas perjaka belum, tanyanya. Tak kujawab, dan dia tertawa terbahak bahak, sialan pikirku, dia sepertinya bisa melihat semua tentangku.

Kuputuskan hari ini pergi ke cafe sebelah apartemenku yang satu kamar ini, bukan satu kamar ding, studio apartemen lebih tepatnya, yang baru saja kusewa beberapa bulan lalu ketika aku sampai ke Melbourne. 

"Flat white please", kataku kepada barista wanita, mungkin umurnya sama denganku. "that would be 3.5 dollar sir", katanya tanpa melihatku.  "Coming right up sir", terusnya ketika aku menyerahkan uang yang di mintanya.

Akupun mencecap kopi yang baru datang, "not bad" pikirku sambil melihat orang lalu lalang di trotoar depan. Pikiranku terasa kosong, tak tahu apa yang harusnya aku lakukan kecuali beberapa kali mencecap kopi itu sedikit sedikit. Ah mungkin ide sekolah lagi dari si tua itu perlu dipertimbangkan, biar terkesan bukan pengangguran. Tapi aku ingin challenge yang besar dalam hidupku, buat apa lontang lantung meski punya uang, pikirku setengah berdoa.

Disini Aku tak punya klien, tak punya network, tak punya teman, jadi "kerja"ku hanya mecoba coba cafe di Melbourne ini dan menikmati pemandangan cewek cewek berbikini di beberapa pantai sekitar sini. Not that I am complaining, this is perfect actually, but really? umur 23 tahun nggak ngapa ngapain. 

Tiba tiba terdengar suara Drrrt... dddrrtt... ah, itu getaran telpon di tas kecilku,  telponku memang tak pernah bersuara, hanya bergetar saja. "Hmm... tumben ada yang nelpon, biasanya cuma kirim message" pikirku sambil meraih telpon yang menggelepar gelepar seperti ikan terdampar. 

Ah, Mbak Shinta, asisten pribadi ayah yang sintal dan padat itu. Si tua itu bisa saja nyari asisten pribadi, boleh juga taste-nya. Tapi sekarang aku sedang malas ngobrol basa basi,  biasanya sih Mbak Shinta cuma ngasih tahu uangnya sudah di transfer untuk bulan ini dan bertanya apakah aku baik baik saja.  Well, aku gak butuh butuh duit amat, uang yang dikirim 2 bulan lalu masih sisa. Tar aja lah aku telpon balik kalau sudah aku habiskan kopi ini, pikirku. 

Ketika hape itu sudah berhenti menggelepar,  aku mau liat isi WA, mungkin Mbak Shinta ngirim message.  WTF...! ada 12 misscall..? dari Mbak Shinta, Bik Yeyen pengurus rumah dan juga Lawyer ayah, Jonson Siregar. Waduh ada apa ini...? Belum ku buka WA, hape sudah meggelepar lagi, kali ini kuterima panggilanya, " Mas Donny..! Ayah dilarikan ke rumah Sakit, Mas Donny pulang saja langsung, sudah saya kirimkan bukti pesanan tiketnya di WA ya, nanti detail menyusul kalau mas donny sudah sampai disini", Kata Mbak Shinta setengah berteriak diujung sana, mungkin karena kalut.

Tanpa menjawab, aku langsung loncat dan lari ke taxi terdekat, "Airport please, its urgent, sorry" kataku ke sopir taxi tersebut. Aku ingat di tas kecilku semua dokumen selalu aku bawa, passport, KTP dll, jadi tak perlu balik lagi ke apartemen.

Sampai di airport aku setengah berlari aku ke counter Garuda, kami memang keluarga nasionalis pakai lokal dulu sebisa mungkin, Kutunjukkan bukti pesan yang di kirim Mbak Shinta, langsung semuanya di urus oleh ground crew, karena tiketku adalah business class, dan sudah mempet waktu terbang. "tidak ada bagasi pak" tanya petugas Garuda, "tidak ada mas" jawabku "saya hanya bawa tas kecil ini." Kalau saja aku pulang bukan karena urgent, tentu akan ku bawa 80kg bagasi buat oleh oleh. 

Tak ada waktu untuk menelpon balik ke beberapa orang, aku sudah harus boarding dan hape sudah harus dimatikan. Sebenarnya ayah masuk ke rumah sakit itu bukan kali ini saja,  tapi sering. Sudah ku bilang gak usah kerja keras keras, toh kita sudah bisa di katakan kaya, tapi si tua itu sepertinya kerja adalah hoby, tak bisa di rem. 

Sedikit lega perasaanku karena ingat ayah selalu lolos dari malaikat maut ketika masuk rumah sakit, kali ini tak akan beda, pikirku. Tak berapa lama akupun menikmati hidangan kelas bisnis dari maskapai Garuda ini, sate ayam cuman, tapi entah kenapa ini juicy dan enak banget. Mungkin sate ayam terenak yang aku pernah rasakan. habis itupun aku tidur selama 7 jam perjalanan. 



AninditaWhere stories live. Discover now