Mictlain kembali menembakkan sihirnya. Bola sihir putih kehitaman meluncur cepat kearah Phoniex.

Sekali kepakan sayap, burung api terbang menghindari serangan sihir. Bola sihir meleset dan tetap melaju kearah Ricard dan Raja Helium berada.

"Awas!" Teriak Thalia.

Kedua pemimpin kerajaan terkejut mendengar teriakan Thalia. Kedua mata mereka melebar sempurna. Raja Helium menghilang cepat berpindah dimensi seperti yang Thalia lakukan.

Ledakan memekakkan telinga terjadi untuk kesekian kalinya. Nasib buruk menimpa Raja Ricard. Ia terlempar jauh kebelakang akibat bola sihir mengenai dirinya. Raja Ricard berteriak akibat tubuhnya terbakar api sihir berwarna kehitaman. Berulang kali ia berusaha mengguling-gulingkan tubuhnya ke tanah tidak membuahkan hasil. Api semakin membesar.

Raja Helium kembali muncul setelah menyelamatkan diri dengan berpindah dimensi. Ia terpaku melihat tubuh Ricard terbakar. Dengan cepat, Raja Helium segera mengeluarkan kemampuannya. Ia menghadirkan air yang berasal dari danau dimana Thalia dan Ace pernah mengunjunginya.

Gerakan cepat, Raja Helium segera membasahi kain yang ia temukan di sekitarnya dan menyelimuti tubuh Ricard sepenuhnya dengan kain itu. Raja Ricard kembali tenang setelah ia merasakan sejuk disekujur tubuhnya-nyawanya selamat.

"Tangkap dia!" Perinta Raja Helium kepada Daniel.

"Baik, Yang Mulia!" Jawab Daniel. Ia segera membopong Raja Ricard yang sudah tergeletak tidak memiliki tenaga.

Daniel dan Duke Aaron selamat dari ledakan portal dimensi karena sembunyi dengan berpindah dimensi bersama Raja Helium. Ia memang melarang Daniel dan Duke Aaron ikut campur dalam peperangan kali ini, ia lebih mementingkan keselamatan daripada harus mati sia-sia. Adanya Ace dengan wujud burung api serta dibantu Thalia itu sudah lebih dari cukup.

"Bawa dia ketempat yang aman! Aku harus melakukan sesuatu untuk membantu Duke Aaron menghadapi Duke Smith." Perintah Raja Helium. Daniel segera beranjak dengan membopong Raja Ricard, ia meninggalkan Raja Helium sendiri.

Burung api masih terbang berputar-putar diatas kepala Mictlain. Monster bertopeng tengkorak terdiam, ia merasa bersalah karena melukai putranya sendiri. Semua rencana yang sudah ia susun sedemikian rupa berakhir berantakan hanya karena dua pengacau kecilnya-Ace dan Thalia.

Ace kembali menyerang dengan menghujani api sihir. Thalia meringkuk, ia berpegangan erat agar tidak jatuh dari ketinggian. Gadis itu tidak bisa membantu banyak-ia petarung jarak dekat, dan hanya bisa mengandalkan pisau lempar kecil jika ia ingin menyerang jarak jauh, terbesit keinginan memakai busur panah tapi ia tidak mempunyai pengalaman memakainya.

"Tapi, apa salahnya dicoba?" Gumam Thalia pelan.

Thalia kembali berpegangan erat pada bulu-bulu Phoenix yang halus. Ace memang gesitu saat menghindar dan memberikan serangan hingga membuat Thalia terpontang-panting diatas kepala burung api tersebut.

"Turunkan aku, Ace!" Pintanya.

"Ada apa?" Tanya Ace masih sibuk menyerang monster dengan sihir apinya.

"Aku ingin mengambil sebuah senjata yang mungkin bisa membantuku." Jawab Thalia.

"Diamlah disana. Aku tidak mau kau terluka!" Larang Ace.

Thalia mencebik kesal, "Aku memiliki rencana. Siapa tahu bisa membantumu." Jawabnya dengan nada jutek. "Jadi, biarkan aku turun untuk mengambil senjata."

"Senjata apa yang ingin kau ambil, Tha?" Tanya Ace penasaran.

"Busur dan Anak panah." Jawab Thalia singkat.

"Apa kamu bisa menggunakan senjata tersebut?" Ace bertanya dengan nada sedikit meremehkan. "Aku tidak pernah melihatmu memakai senjata tersebut selain pisau lempar." Sambungnya.

"Aku tidak yakin. Tapi, apa salahnya dicoba." Tandasnya singkat.

Ace kembali menyerang Mictlain. Dengan cepat monster tersebut menjauh untuk menghindar. Ace mendarat dan menurunkan Thalia dari kepalanya. "Ambil senjata sesuai kebutuhanmu. Dan segeralah naik lagi. Aku hanya mengizinkanmu melakukan serangan jarak jauh."

Thalia mengangguk, "Aku mengerti." Jawabnya singkat. Thalia segera mengambil senjata busur dan anak panah dari tubuh prajurit yang telah gugur. Tidak lupa ia mengambil beberapa pisau kecil yang tertancap di tubuh prajurit yang sempat ia gunakan untuk menyerang mereka.

Thalia sibuk mencari senjata sedangkan Ace berusaha menyerang, menghindar serta melindungi istrinya dari serangan monster bertopeng tengkorak tersebut.

"Majulah jika ingin menyerangku, Thalia Navgra!" Sahut Mictlain dengan nada meledek. "Apakah kamu takut mati jika melawanku?" Sambungnya lagi.

Thalia menatap nyalang Mictlain yang terkekeh. Ia menahan emosi karena direndahkan oleh mahkluk buruk rupa. "Aku akan melawanmu, paman."

Thalia mengambil perlengkapan senjatanya. Sambil menunggu Ace yang masih terbang menghindari serangan Mictlain, Thalia sibuk menyimpan pisau lempar dan mengalungkan busur dan anak panah ditubuhnya.

Melihat keponakannya tidak fokus melihat dirinya, Mictlain melontarkan serangan sihirnya.

Ledakan berukuran sedang meleset mengenai puing-puing istana, Thalia berhasil menghindar. Ia benar-benar merasa ada yang berbeda dengan tubuhnya.

Bruk

Suara dentuman keras membuat tubuh Mictlain terhempas kesamping. Ace menubrukkan tubuhnya hingga monster tersebut bisa menjauh dari Thalia.

"Naiklah!" Perintahnya. Thalia bergegas naik kembali keatas kepala burung api tersebut.

I WANT YOU (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora