3. Ketahuan?

16 1 0
                                    

Abel dan Rio merupakan dua pribadi yang sangat bertolak belakang.

Hal ini terlihat jelas dari sifat Rio yang energik, dimana dia mampu menghidupkan suasana obrolan melalui candaan ringannya. Rio selalu melakukan hal yang disukai, menikmati dan tenggelam dalam kenyamanan masa muda yang santai dan tanpa beban. Rio tidak suka dengan hal yang serius.

Berbeda dengan Abel yang merupakan mahasiswi ambisius, dimana dia mempunyai mimpi serta cita-cita yang jelas. Setiap keputusan dalam hidupnya sudah melalui pertimbangan yang lama dalam benaknya. Dia tahu tujuan hidupnya dan apa yang menjadi prioritas utamanya. Abel selalu memastikan semua hal dalam kehidupannya berjalan sesuai rencananya.

Rio aktif dan Abel itu pasif.

Zee memutar bola matanya malas sebelum menurunkan buku menu dalam genggaman Abel untuk membuat celah pada wajah Abel yang tertutup sempurna sebelumnya hingga Zee dapat bertatapan mata dengan Abel.

"Lihatlah pacar yang kau percaya dengan sepenuh hatimu itu. Jangan terlalu munafik Bel atau kau akan berakhir dibodohi," ujar Zee santai sembari memperhatikan raut Abel yang tampak mulai tidak nyaman, seolah menyelami setiap perkataan Zee dengan serius.

Zee mengedikkan bahunya kemudian, "Tapi terserah, jika kau mau pulang maka ayo. Kau tidak lihat disana juga ada Jeremi, sial," umpatnya pelan diakhir, menahan kesal.

Jeremi adalah mantan Zee, mereka sudah lama tidak berhubungan dan perlu digaris bawahi bahwa Zee tidak ingin menjadi orang pertama yang menyapa duluan. Zee gengsi atau lebih tepatnya tidak tahu harus bersikap bagaimana, sebab mereka terbilang putus dalam keadaan yang tidak baik-baik.

Akhirnya karena desakan deretan fakta pahit yang menusuk dari Zee, Abel memberanikan diri untuk menoleh ke arah meja Rio.

Memang benar, mereka semua duduk dalam sebuah meja panjang yang digabung, kira-kira belasan orang, baik anggotanya yang bercampur antara pria dan wanita, posisi duduk mereka juga terkesan acak. Tidak ada kecanggungan, mereka semua mengobrol layaknya sudah sangat dekat dan nyaman satu sama lain. Abel mengenal beberapa dari mereka, tetapi tidak semua, sepertinya ada yang berasal dari kampus lain atau teman basket Rio.

Abel hanya bisa menatap dengan perasaan cemburu yang terbesit dalam hati, ia juga ingin mempunyai keberanian dan sisi antusias seperti teman wanita Rio. Dimana mereka cenderung tidak canggung dan mudah berbaur dengan orang baru.

Dan tepat disamping Rio duduk seorang wanita. Abel tidak tahu itu adalah wanita yang dibicarakan oleh Dewi atau bukan, tetapi Abel masih berusaha untuk tidak mempercayai ucapan orang lain dan percaya pada Rio.

Mereka semua mengobrol dengan suara yang keras dan penuh semangat, sesekali tertawa lebar ketika salah satu dari mereka mendapat tantangan untuk bernyanyi. Mereka mengambil sendok kemudian menjadikannya sebagai mikrofon dan mulai bernyanyi dengan suara lantang.

Sejauh pengamatan Abel saat ini, tidak ada yang janggal dengan Rio hingga tiba-tiba Zee bangkit dari duduknya membuat bahu Abel terlonjak kaget dan segera menatap Zee panik.

"Kau mau kemana?"

"Aku akan pesan sesuatu, kau tidak lihat pria di kasir itu sudah memperhatikan kita sedari tadi," ujar Zee kemudian menunjuk ke arah kasir dengan dagunya.

Abel mengikuti arah pandang Zee dan berakhir mersinggungan mata dengan pria pemilik kasir. Apa yang Zee katakan benar, pria itu terang-terangan tengah menatap lurus ke arah mereka.

Entah kenapa Abel merasa tidak asing dengan tatapannya.

Akhirnya Abel memutuskan untuk mengikuti Zee dari belakang sebelum Rio tiba-tiba bangkit dari kursinya dan berjalan tepat ke arah mereka. Abel sontak membuang wajahnya ke arah samping, untuk sejenak jantungnya berdegup kencang, bahkan Abel menahan napasnya saat Rio sudah berjarak tiga langkah didepannya.

Abel sontak memutar tubuhnya secara cepat kemudian melirik sekilas ke arah name tag pria yang bekerja dibalik area kasir itu. Bastian.

"Pinjam ya," Abel berujar meminta ijin dan dengan gesit tangannya meraih papan barcode yang biasa digunakan pembeli untuk melakukan transaksi pembayaran dari atas meja untuk menutupi wajahnya.

"Pinjam ya," Abel sontak memutar tubuhnya secara cepat, melirik sekilas ke arah name tag dan dengan gesit tangannya meraih sebuah papan barcode untuk pembayaran dari atas meja dan menutupi wajahnya.

Setelah Rio melewati mereka dan menuju ke lorong kafe tempat toilet berada, akhirnya Abel dapat bernapas dengan lega. Abel dan Zee segera melakukan pemesanan dan menunggu di area pick up.

Beberapa saat kemudian kopi pesanan mereka datang, Zee masih memimpin jalan didepan sedangkan Abel di belakang masih dengan sikap jaga-jaganya. Hingga tak sadar Zee yang berada di depan berhenti mendadak karena fokus melihat ke arah meja Rio, tepatnya ke arah Jeremi yang sibuk bercanda ria dengan temannya.

Abel akhirnya menabrak punggung Zee dan berakhir kopi dalam genggamannya jatuh. Suasana seketika terasa mencekam bagi keduanya. Tiba-tiba kafe yang tadinya ribut akan suara tawa dan obrolan mereka berubah hening. Semua orang melihat ke arah Zee dan Abel. Abel panik setengah mati sedangkan Zee memejamkan kedua matanya rapat sembari menarik napas, berusaha mengontrol dirinya. Abel masih menunduk, dalam benak sudah membayangkan bagaimana reaksi orang-orang terlebih jika mereka ketahuan.

Hingga tiba tiba mereka mendenagr sebuah suara yang tidak asing bagi keduanya.

"Kau tidak apa-apa?"

Itu suara Jeremi.

Zee tidak mungkin lupa dengan suaranya, sangat jelas dan dekat. Zee membulatkan matanya seiring dengan jantungnya yang berpacu dengan cepat, kakinya ikut mengambil langkah lebar meninggalkan kafe, meninggalkan Abel sendirian disana.

Di belakang Abel mematung, memandangi punggung Zee yang semakin jauh kemudian hilang di belokan pintu kafe. Sial. Wanita itu meninggalkannya dengan semua kekacauan ini.

Abel menggeleng pelan, berusaha menenangkan diri. 

"Tidak apa-apa Abel, bersikaplah normal saja," ujarnya kepada dirinya sendiri kemudian detik selanjutnya ia berlari kencang menuju pintu kafe bersamaan dengan Rio yang sudah balik dari toilet. 

Untuk sesaat, Abel sempat bertatapan mata dengan wanita yang duduk disamping Rio. Hanya beberapa detik sebelum Abel memutuskan untuk fokus pada aksi kaburnya dan tatapan mereka terputus.

Tetapi Abel tidak mungkin salah lihat. Ponsel Rio berada di genggaman wanita itu.

"Ada apa?" tanya Rio sembari melirik sekilas ke arah punggung wanita yang baru saja meninggalkan kafe dan beralih kepada Jeremi.

Jeremi menggeleng, "Tadi ada yang menumpahkan kopi."

Kemudian mereka berdua kembali duduk.

"Ian, terima kasih sudah menggantikanku sebentar," ujar seorang pria yang keluar dari lorong tempat toilet berada dan masuk ke area kasir.

Pria yang dipanggil Ian itu menangguk kecil sembari tidak melepaskan tatapannya dari pintu kafe.

"Ada apa?" tanya pria itu yang kebingungan melihat Ian menatap lurus dengan tatapan seriusnya.

"Kau lama sekali bodoh," umpatnya kesal sembari melepas apron yang dipakainya kemudian melemparnya kepada pria tadi.

"Iya, perutku sangat sakit tadi," ujar Bastian sembari kembali memakai apron miliknya.

"Bersihkan itu," ujar Ian singkat kemudian menunjuk ke arah tumpahan kopi dengan dagunya dan Bastian menangguk pelan sebelum segera berbalik ke arah gudang untuk mengambil kain pel.

Ian menatap kembali kumpulan orang-orang yang masih melanjutkan obrolan mereka seolah tidak ada hal yang terjadi disana.

Menarik.

I Latte You (SLOW UPDATE)Where stories live. Discover now