[8] Om ... Nikah Yuk!

133 0 0
                                    

"Kita mau kemana, Pah?" tanya putra Cakra, Marwan, dia kelas dua SMA, pemuda yang punya mata biru serupa ibundanya itu asyik menatap keluar jendela.

"Jemput kakak kamu," jawab sang ayah seadanya.

"Aih, kupikir dia agak pagian," ujarnya, sekolah Marwan berperaturan full day school dan jadwal kakaknya sebenarnya pulang sebelum dirinya.

"Yah, dia ada ... yah, teman-teman sebayanya." Entah mengapa, Cakra memiliki kesulitan tersendiri menceritakannya. "Kamu masuk, ya! Jemput kakak kamu!"

"Oke, Pah!"

Sementara di dalam restoran, kesembilan remaja itu sudah selesai makan-makan dan kini tengah berbincang-bincang sekadar bertukar informasi. Lavina kelihatan semakin akrab dan terbuka, terutama pada Balqis yang senasib dengannya.

Mereka menyebut dirinya keistimewaan ... bukan kekurangan.

Karena kekurangan adalah hal-hal buruk yang dilakukan manusia, bagi mereka ini keistimewaan.

Mobil Cakra berhenti di depan restoran, pria dewasa itu membuka kaca mobil dan dari kaca transparan restoran sudah terlihat objek-objek manusia di dalamnya. Ada putrinya di sana, dan ada pula calon ibunya—eh, maksudnya Latifah serta teman-temannya yang lain.

Cakra mengulum bibir.

Marwan keluar dari mobil dan berjalan memasuki restoran, ia menghampiri sang kakak. "Asalamualaikum!" sapanya dengan senyum ramah, pernyataan itu dibalas dengan ramah pula oleh mereka meski agak bingung siapa sosok di hadapan mereka. "Kak Lavina, udah waktunya pulang!"

"Wah, adik kamu?" Latifah bertanya, Lavina mengangguk dan berdiri dari duduknya.

Ia menggerakan tangannya dan melambai.

"Dadah! Kapan-kapan hangout lagi!" kata Camelia terkekeh.

"Kami permisi dulu, asalamualaikum!"

"Wa'alaikumus-salam!"

Dan kedua kakak beradik itu keluar dari restoran. Ketika yang lain asyik pada dunianya sendiri Latifah memperhatikan Lavina dan adiknya melalui kaca transparan bangunan itu. Mereka menuju sebuah mobil, ada kepala yang tadi menyembul dari jendela kemudi yang terbuka tapi menghilang dengan cepat dan tertutup.

Mata Latifah memfokuskan titik.

'Kok mirip om ... hm? Mobilnya juga,' pikirnya. 'Meski ingatan aku rada-rada, tapi aku rasa aku bener. Jangan-jangan Lavina anak om Cakra?'

Matanya melingkar sempurna.

'Aih ... aku baru sadar muka mereka banyak kemiripan, tapi ....' Latifah memanyunkan bibirnya. 'Ah, tanyain aja deh, takutnya jatuhnya fitnah!'

"Temen-temen, aku duluan dulu, ya! Udah mau magrib, nih!" Latifah berdiri dari duduknya, ia berpamitan. "Asalamualaikum!"

"Wa'alaikumus-salam!"

Dan ketika ia keluar restoran, memang benar langit sudah mulai menyenja. Ia siap melangkahkan kakinya menyeberang jalan ketika sebuah suara meneriaki namanya. "Latifah!"

Ia menoleh ke sumber suara, menemukan Ihsan yang berkendara dengan motor mulai menghampirinya hingga berhenti di hadapannya. Ihsan menyerahkan helm padanya dan tanpa berkata Latifah memakainya lalu naik ke tempat belakang. Motor pun berjalan menjauh.

Cakra menatap kaca spionnya, memperhatikan motor itu yang mulai jauh dari pandangan mata cokelatnya.

"Pah, ada apa lagi? Mau beli sesuatu?" Marwan bertanya pada sang ayah.

Cakra menggeleng dan mulai menjalankan mobilnya. Ia menatap putrinya yang duduk di sampingnya sekilas.

"Gimana temen-temen kamu?" Lavina menggerakan tangannya dan pria dewasa itu memperhatikan dengan seksama. "Oh, bagus kalau mereka semua bisa bahasa isyarat dan menerima kamu apa adanya, Papah harap kamu jauhi mereka yang tidak baik dan sebagainya, ya! Pilihlah teman yang baik!" ia menyunggingkan senyum tulus.

Lavina tersenyum.

Ia kembali menggerakan tangannya. "Iya, insyaallah Papah akan izinkan kalau kamu main sama mereka lagi. Oh, omong-omong, gimana kalian ketemu?"

Dan apa yang diceritakan putrinya, berhasil membuat hati Cakra mencelus dan darahnya berdesir dua kali lipat. Berkali-kali lipat.

"Papah kenal dengan yang namanya Latifah Tsabit, dia anak dari karyawan papah di kantor utama." Cakra menjeda guna berpikir sejenak, ia angkat suara dengan susah payah. "Lavina, Marwan, apa kalian keberatan kalau Papah—"

Kedua anaknya menunggu pernyataan ayah mereka, sementara perkataan Cakra tersedak di kerongkongannya.

"Mm ... ah tak apalah, tidak penting." Cakra tersenyum kecut, meski heran tak ada lagi pembicaraan di dalam mobil. Segalanya hening hingga keluarga kecil itu sampai di rumah mereka.

Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991

Pengasuh Duda [21+]Where stories live. Discover now