Setibanya di kamar, pemandangan Nana Maxville yang pulas menjadi pertunjukan damai di pandangan Hinata. Pemuda itu telentang dengan sebelah tangan di perutnya. Dia mendengkur halus seperti telah mengalami serangkaian aktivitas melelahkan. Padahal sepanjang siang dia duduk sambil memainkan ponselnya. Terserah, batin Hinata sembari merapikan alas tidur dan merebahkan tubuhnya di sana bersama selembar selimut. Gadis ini sungguh luar biasa, merelakan kasurnya yang nyaman dihuni orang asing.

-----

"Bibi kira kamu masih tidur."

"Aku mau keluar, cari udara segar."

Nana Maxville enggan kehilangan masa terpentingnya setiap kali bangun di pagi hari. Oleh sebab itu Rukata yang kebetulan mampir untuk mengecek keadaan mereka tak pelak berpapasan di depan pintu.

"Bibi bawa sarapan. Ibumu menitipkanmu di sini. Maaf ya kalau kamu merasa tidak nyaman dengan kehebohan Bibi. Kushina sudah aku anggap saudara. Jadi, apapun yang dia butuhkan aku pasti berupaya menolongnya."

"Terima kasih. Mungkin Bibi berpikir aku ini tidak sopan. Tapi, aku sungguh tidak bermaksud menyinggung—"

"Bibi tidak apa-apa." Rukata tertawa nyaring seraya menutup mulutnya, "Aku mendengar banyak mengenai dirimu. Kushina menceritakan semuanya."  Nana Maxville spontan mengernyit, "Jangan curiga dulu! Kushina tidak mengatakan hal buruk. Dia cuma menjelaskan sedikit tentangmu agar aku bisa memahami." Lalu, Rukata beringsut ke dapur guna menyisihkan kotak-kotak makanan di genggamannya. "Kamu tidak pergi?!" tanya Rukata kala menyaksikan si pemuda tak jua bergerak dari situ. "Nanti aku minta Hinata supaya menyimpan bagianmu." Detik berikut Nana Maxville pun bergegas meninggalkan ruangan. "Kurasa gadis itu belum bangun—"

"Nyonya—"

"Ah, Hinata. Kemarilah! Aku menyiapkan sarapan buat kalian."

"Nyonya selalu kerepotan. Jangan lakukan ini terus, saya sungkan sekali."

"Aku senang melakukannya, kamu tidak usah pikirkan itu."

"Tapi—"

"Mau aku yang mengambilkannya?"

"Nyonya, aku ... atau aku harus menambah biaya? Aku akan lebih tenang bila ..."

"Aku tidak punya anak, dan suamiku juga sudah tiada. Aku lega saat tahu siapa yang menyewa apartemen ini. Aku sempat membayangkan dapat merasakan bagaimana sensasinya saat memiliki anak. Semisal Tuhan memberiku kesempatan waktu itu, bisa saja anakku seusiamu dan Nana. Aku bahagia kalian berdua tinggal di sini." Pada akhirnya Hinata bergeming, menyadari penolakannya merupakan kekeliuran. Dia hanya perlu menunjukkan kegembiraan serupa atas kebaikan Rukata.

"Maaf, kata-kata saya sangat berlebihan. Saya ikut senang untuk Anda, Nyonya. Jika memang demikian yang Anda rasakan, maka saya tidak lagi menghentikan keinginan Anda."

"Berhentilah menyebutku dengan kata itu. Aku ini bukan Tuan Rumah kejam dan angkuh seperti di cerita-cerita dorama, Hinata. Panggil saja Bu Rukata, telingaku nyaman mendengarnya."

"Baik, Bu-Rukata."

"Ya ampun, aku kelimpahan berkah di pagi ini. Barusan tadi putra Kushina mau menyahutku, ke dua kamu bersedia menerimaku. Aku jadi terharu." Tiba-tiba Rukata tampak menitikkan air matanya, sedang di posisinya Hinata turut gelagapan.

"Nyo—Bu Rukata, Anda kenapa?"

"Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali aku menangis bahagia," tuturnya selagi dia menyeka pelupuk mata. "Aku pasti memasak yang enak-enak agar kalian makan dengan baik. Ayo, sini duduk! Makan yang banyak. Kamu masih harus melanjutkan pendidikan perguruan tinggi 'kan? Protein bagus untuk menguatkan daya ingatmu." Sudut-sudut bibir Hinata refleks terangkat seiring dia duduk, segera menikmati makanan di meja.

-----

Visual Nyonya Rukata

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Visual Nyonya Rukata

Visual Nyonya Rukata

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Visual Kushina

Met You BeforeWhere stories live. Discover now