3. Keputusan Akhir

Start from the beginning
                                    

"... mendapat laporan bahwa anakmu bisa membaca...."

Suara itu berat dan penuh dengan nada menuduh. Heera memeluk leherku dan menenggelamkan wajahnya sampai aku bisa mendengar deru napasnya yang panik, tetapi aku menyuruhnya agar tak bersuara kencang. Aku berkonsentrasi mendengar percakapan itu.

"Dari mana laporan itu berasal?" Itu suara Ibu. Bahkan di tengah ketegangan ini, suara Ibu terdengar stabil dan tanpa emosi.

"Saat penyerahan jatah, bocah itu membaca nama yang tercantum di kalung anggota kami."

"Itu pasti hanya salah dengar saja, Pak."

"Kau meremehkan kupingku?" Suara sraden yang lain, lebih melengking dan penuh emosi. Ini pasti orang yang namanya disebut oleh Heera―Ronan.

"Tidak, maksudku, di balai desa pasti ramai sekali, kan? Bisa saja kalian cuma salah dengar. Semua orang bisa salah mengenai sesuatu."

Seseorang meninju meja dengan keras. "Kaum kami tidak pernah salah mengartikan sesuatu!"

"Ronan, periksa tempat ini!" perintah sraden yang lain, lalu aku membungkuk lebih rendah. Suara perabotan yang diobrak-abrik terdengar jelas. Aku bisa membayangkan Ronan merobohkan kaleng-kaleng rombeng berisi benda-benda tak berharga kami, menjungkirbalikkan meja dan menjarah isi lemari pakaian. Satu-satunya harapanku adalah dia tak menemukan tegel batu lantai kami yang berlubang di pinggirnya, sebab di dalamnya Ibu menyimpan buku-buku berharga....

"Katakan, wanita tua," kata suara sraden itu lagi. "Di mana bocah itu?"

Ibu terdiam beberapa saat. Rasa merinding merayapiku.

"Dia pergi bermain setelah pulang dari mengambil jatah."

Terdengar dengkus kemarahan. "Kau serius?"

"Untuk apa aku berbohong? Kalau perlu aku bisa menjemputnya sekarang supaya bisa memberi bukti yang sebenarnya!"

"Persetan! Kau pikir kami tidak tahu kalau kau akan kabur?"

Ibu tidak menjawab, tetapi aku mendengar suara lain seperti benda yang dipentungkan pelan dan berulang di atas batu. Kemudian, Ronan berkata, "Komandan, sepertinya ada yang aneh di tegel batu ini."

Kata-kata Ronan membuat perutku mulas.

Sejak tadi aku menggigit bibir sampai tak sadar kini bibirku terluka. Selagi merasakan gemetar tak berkesudahan, aku mengecap rasa besi di lidahku. Heera terisak kecil di pelukanku, dan aku tahu dia sedang menahan tangis. Kami mendengar derap langkah menjauh, yang artinya sang komandan memeriksa sendiri letak tegel batu yang aneh itu.

"Buka," katanya.

Aku membayangkan apa yang akan terjadi pada Ibu bila kami ketahuan.

Kemudian―selama beberapa saat―tak ada suara. Hanya terdengar denyut jantungku dan suara napas Heera di leherku. Tubuhku nyaris jatuh lemas ketika, akhirnya, sang sraden berbicara dengan nada muak, "Lihatlah tumpukan buku ini. Ternyata keluargamu memang pembangkang yang berkhianat pada negara."

"Ka-kami bukan pembangkang."

"Dari mana kau mendapatkan buku-buku ini?"

Tidak ada jawaban.

"Baiklah. Tampaknya kita harus memeriksa seluruh sraden yang bertugas, barangkali di antara mereka ada yang bersekongkol memberikan buku-buku ini. Yang terpenting adalah kau dan anakmu akan menjalani eksekusi karena sudah melanggar aturan."

"Jangan anakku," kata Ibu yang akhirnya mengaku, tegas namun penuh permohonan. "Dia masih kecil dan tak tahu apa-apa. Dia bukan ancaman bagi kaum kalian."

Doves and DisgraceWhere stories live. Discover now