+ 67. we're going back to black

Start from the beginning
                                    

Nihil. Yang ia dapatkan hanyalah kalimat peringatan. Kalimat yang mengatakan bahwa dia telah dikutuk dan tengah melawan takdir yang telah ditentukan oleh para dewa. Hyunae masih tidak bisa memahami, kenapa dirinya yang keluar dari jalur dan berusaha untuk memperjuangkan keadilan malah dilihat sebagai bentuk pemberontakan pada catatan takdir?

Apa ia tengah berada di jalan yang salah?
Apakah merampas, mencelakai, dan mengubah tatanan dunia agar menguntungkan pihak blessed, adalah tindakan yang sebenar-benarnya dikehendaki para dewa?

Gelegar, permainan piano itu perlahan berjalan menuju nada yang lebih lantang, bak petir yang menyambar. Sang pianis memainkan jemarinya, piawai di atas tuts piano, ia menarikan persembahannya pada Dionysus.

Hyunae masih bergeming. Ada benang yang kusut di sini.

Sebuah lembaran yang hilang. Sebuah penjelasan yang disembunyikan. Entah apa itu, Hyunae meyakini ada yang tengah bermain dan tertawa di belakang layar saat ini, menikmati dirinya yang tengah menerka-nerka dan menpertanyakan keadilan di depan dewa itu sendiri.

Melodi tersebut bagai murka, sebuah tarian gila yang merayakan amarah dan pongah menjunjung diri sebagai anak dewa. Ia melenceng dari partiturnya, dari peta yang seharusnya ia ikuti bak sebuah kepercayaan. Sang pianis masih mengundang tatap terpana, beratus pasang mata yang menyaksikan lahirnya seorang legenda.

Ia akan melekat pada ingatan. Ia memang berniat seperti itu. Fokus Hyunae tertuju pada raut wajah si adam yang berada di atas panggung tersebut. Kontradiksi dengan obsidiannya yang dingin, jemarinya menyampaikan gelora yang mengirimkan sensasi merinding.

Bagaimana permainan dengan perasaan yang tumpah-ruah ini akan diakhiri? Apakah meninggalkan sisa-sisa yang tercerai-berai dengan berantakan, ataukah—

Nada itu kembali melambat.

—diakhiri dengan dramatis tetapi rapi?

Blessed adalah mereka yang memiliki harga diri yang tinggi. Pemandangan Lilac Theatre yang dihiasi oleh pujian yang berkumandang hampir tidak pernah terlihat, tetapi terjadi di depan matanya sekarang bagai mimpi. Hyunae tersenyum, tepuk tangan itu membahana dan memekakakkan telinga, sementara sang pianis beranjak dan membungkuk, memberi hormat ke arah bangku penonton, yang dijajar dari tingkat tiga ke tingkat satu, atas ke bawah.

Jemarinya berhenti di bibir, berpikir. Tanpa melirik Hyunjin, ia melirih, "Menurutmu dia akan direkrut?"

Si adam yang mendengar pertanyaannya, di antara berisiknya Lilac Theatre, membalas dengan nada lamat. "Tentu. Dia adalah berlian yang punya nilai tinggi."

"Berlian dengan nilai tinggi, ya." Si gadis Kim menimbang. Selama beberapa menit, selagi dirinya tenggelam dalam monolog dalam diri, ia juga menyempatkan untuk menganalisa permainan sang Pianis hari ini. Ia tertawa kecil, setelah selesai mengkalkulasi pro dan kontra. "Tentu saja aku harus mencurinya terlebih dahulu."

Lee Heeseung, putra Hera.

Lee Heeseung, putra Hera

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
BlessedWhere stories live. Discover now