[4] Om ... Nikah Yuk!

192 2 0
                                    

"Keputusan ada di tangan anak saya, Pak! Saya tidak ingin memaksakan kehendak." Ayah Latifah tersenyum.

Atasannya tersenyum kecut. "Yah, sepertinya sudah jelas, dia enggak bakal mau." Pak Cakra memanggut paham. "Yah, lupakan saja, lagi pula saya hanya coba-coba mengatakannya, kerjakan saja pekerjaan kamu yang saya berikan. Baiklah, saya pulang dulu!" Ia berdiri dari duduknya.

"Ah, iya, Pak!" Ayah Latifah menyalami, keduanya melangkah keluar dan akhirnya Pak Cakra pun pergi.

Ayah Latifah menghela nafas panjang, buru-buru ia menghampiri sang istri yang ada di dapur. "Seriusan, aku gak nyangka, lho, sayang! Pak Cakra mau nikah sama Latifah!"

"Waduh? Kamu serius?" Ibunda Latifah mengerutkan kening, sang suami mengangguk yakin. "Beneran? Apa mereka saling kenal?"

"Entahlah, Mah." Ia menggedikan bahu. "Tapi kayaknya, karena Latifah mirip sama almarhumah istri pak Cakra, sih."

"Mirip apanya?" Ayah Latifah menjawab dengan gedikan bahu. "Ah, sebenarnya bagus, sih! Punya menantu perfect kayak bos kamu sekalipun umurnya hampir seumur kamu!" Ia menggumam. "Sayangnya sih, keknya Latifah masih kemudaan buat nikah."

"Yah, dia aja nolak pak Cakra mentah-mentah." Kemudian, wajahnya membingung. "Sebenarnya ini aneh, sih! Padahal pak Cakra cuman nanya apa dia siap nikah sebelum nanya mau nikah sama dia, tapi sepertinya Latifah nguping dan tau kalau dia bakalan dinikahin! Apa mungkin mereka pernah ketemu?"

"Entahlah ...."

"Papah!" Latifah berlari kecil menghampiri kedua orang tuanya, matanya sembap seakan sehabis menangis. "Papah enggak dipecat, 'kan?"

"Aduh ... kamu nangis?" ibunya bertanya.

"Yah, kamu bersyukur aja pak Cakra enggak marah dan mecat papah! Dia malah ketawa, lho, tadi kamu liat, 'kan?" istrinya memandang aneh karena pernyataan sang suami. "Iya, dia ketawa, padahal 'kan pak Cakra terkenal sama muka tripleknya!"

Latifah mengerutkan kening.

"Mungkin karena itu!" Ibunya menyimpulkan, ayahnya mengangguk setuju.

"Karena 'itu' apa?" Latifah tak memahami kode-kodean orang tuanya.

"Gini, Ifah. Apa kamu mau nikah sama pak Cakra atasan Papah?"

Mata Latifah melingkar sempurna. "Gak mau! Papah, 'kan, udah tau aku enggak mau nikah sama dia! Gimana, sih? Aku mau kuliah!"

"Oh, ya udah ...."

'Gitu aja, ya?' Dan Latifah, malah kesal sendiri.

Kesehariannya pun berjalan normal walau kadang Latifah masih kepikiran banyak hal, tapi semua itu ia urung dan memilih menyelesaikan pendaftarannya di universitas favorit di kotanya. Ia selesai untuk itu dan kini ber-chating ria bersama teman-temannya dengan topik perjanjian datang ke kampus yang mereka daftarkan diri bersama-sama untuk tes dan setelah mereka diterima di sana, Latifah dan teman-temannya memang berjanji akan terus bersama dan berkoneksi sekalipun hingga mereka bekerja dan berkeluarga masing-masing nanti.

Waktu memang berjalan cepat hingga hari tes pun tiba.

Para remaja itu berkumpul di sekitar lapangan, sekadar duduk-duduk di lobi yang luas.

"Haus, nih. Warung ada yang buka, gak, ya?" Salah satu teman Latifah mengeluh.

"Tau, kita cari warung, yuk!" Latifah ikut berkata, sama hausnya.

"Beliin, ya!"

"Iya!" kedua gadis itu pun berdiri dari duduk mereka, Latifah menepuk-nepuk bagian belakangnya sebelum akhirnya ia dan temannya melangkah bersama menyusuri lobi yang dihuni banyak anak-anak seumuran mereka, yang nampaknya juga ingin mengikuti tes.

Akibat asyik memperhatikan sekitaran, tanpa sengaja Latifah menabrak seseorang.

"Astagfirullah al-'azim, maaf!" ujarnya spontan karena orang yang ia tabrak, pemuda yang terlihat seumurnya, map-map yang ia bawa berjatuhan ke lantai.

"Ah, gak papa!" Pemuda itu memungut map-mapnya cepat sebelum Latifah dan temannya membantu lalu memelukkanya erat. "Kalian anak baru, mau ikutan tes?"

"Iya, Kak! Kami mau ikutan tes!" Teman Latifah menyerobot menjawab, nampaknya ia tertarik dengan pemuda yang lumayan tampan itu. Rambutnya agak ikal, kelopaknya agak menyipit kala tersenyum dan senyumnya pun cukup manis.

"Ya udah. Semangat, ya! Ingat, lho, pengawas sebenarnya gak cuman mementingkan nilai saja, tapi psikologis!" Ia menatap Latifah dengan senyuman penuh arti, mata hijaunya lumayan mengagumkan di mata Latifah.

Walau tak seindah mata cokelat Om Cakra.

Aih, apa?!

Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991

Pengasuh Duda [21+]Where stories live. Discover now