[4] My Special Husband

375 2 0
                                    

"Kamu sungguh kuat dan tegar, Sarah," kata Brendon, rasanya dia ingin berdiri dan memeluk tubuh gadis itu, tetapi mereka belum resmi bersama dan tak saling mengenal jauh, jadi hanya bisa mengenggam tangannya.

Merasakan kehangatan itu, Sarah tersenyum. "Iya, aku harap aku bisa kuat dan tegar, aku janji sama mereka, dan mereka ngasih sisa harta berharganya untuk aku jadikan modal, tapi aku gak mau jual satu-satunya perhiasan tersisa milik mereka jadi aku mutusin kerja, memenuhi kebutuhan hidupku sambil nabung, jujur aku sangat ingin kuliah, aku kerja di peternakan ayam ... makanya bau badanku ...." Sarah menjeda, ia menatap Brendon, sama sekali tak ada wajah keberatan di sana, sang gadis terharu. "Sampai suatu hari, di ulang tahunku yang ke 20, tiba-tiba seseorang dateng ngasih ini."

"Surat wasiat ini?" Sarah mengangguk.

"Sebenernya, itu sudah setahun lalu, aku udah 21 tahun, awalnya aku gak percaya soal beginian tapi entah kenapa, aku sering dimimpiin orang tua dan kakek nenekku, entah kebetulan, atau karena aku sering kepikiran mereka, atau sebenarnya pertanda ... akhirnya aku memutuskan ke sini. Aku gak mengharapkan diterima sebenernya, aku hanya ingin menuruti surat wasiat ini, dan sepertinya ... sesuai keinginan orang tuaku dan Bapak kamu."

Brendon tersenyum. "Iya, aku bersyukur."

Nasi padang yang mereka pesan datang, aroma gulai memasuki hidung, begitu enak.

"Makanlah dulu, nanti berikutnya kita cerita soal aku, ya." Sarah mengangguk.

"Makasih, ya, Bee." Mereka pun makan bersama dan setelahnya, istirahat sebentar di sana.

Saatnya, Brendon bercerita soal dirinya ....

"Sarah, perlu kamu ketahui, aku gak seperti yang keluargaku pikir, jadi kamu jangan khawatir soal itu," kata Brendon, memulai pembicaraannya, Sarah menatap bingung pria itu.

"Jadi, sesuai kata Ibuku, aku Bocah Pembawa Sial, karena saat hamil aku, ibuku sering sakit-sakitan, restoran ayahku turun drastis, merosot, dan aku saat lahir sakit-sakitan juga, menambah beban keluarga dan segalanya benar-benar pailit. Itu kenapa, Ibu benci samaku, meski Bapak selalu bilang kalau semua itu bukan karenaku tapi memang roda yang berputar, dan semua usaha naik lagi usai si kembar lahir, Fanny dan Fina makanya dia jadi anak emasnya Ibu, seperti halnya Jo si bungsu. Sayangnya tabiat Ibu keras kepala, dari kecil aku dijadiin babu, meski dibela Bapak, saat Bapak gak ada tetap aku jadi babu mereka tanpa ampun, apalagi pas Bapak sakit-sakitan, stroke, dia gak bisa apa-apa lagi, makin leluasa mereka, dan setelah Bapak meninggal dua tahun lalu, aku pun ditendang dari rumah. Sulit hidup dengan mereka, aku bahkan telat sekolah karena mereka ...."

Sarah menggenggam balik tangan Brendon, mengusapnya agar lebih tenang. Keduanya saling melemparkan senyum.

"Kita kuliah di kampus yang sama nanti, ya? Janjian." Sarah mengangguk ucapan Brendon.

"Tabunganku masih gak cukup, sih." Sarah tertawa.

"Kita lihat aja nanti, Sarah."

Setelahnya pun, mereka berjalan kaki lagi, hingga sampai ke area depan. Brendon menghampiri salah satu mobil, mengeluarkan kunci dan menekan tombol hingga berbunyi, sebelum akhirnya membukakan pintu untuk Sarah.

Sarah agak melongo. "Brendon, i-ini mobil kamu?"

"Bukan, Sarah, ini mobil orang," jawab Brendon seadanya. "Silakan masuk."

Sarah menggeleng. "Anu, badanku ...."

"Gak, kok. Kata siapa kamu bau ayam? Aku nyium kamu bau mawar, masuk."

Sarah tersipu akan pujian itu, dia memang memakai parfum aroma mawar, dan Brendon menciumnya. Dengan hati-hati ia pun masuk mobil, dan Brendon mengikuti di sisi kemudi.

Cerita ini cerita spesial yang tersedia di KARYAKARSA: anurie

Silakan mampir, murah meriah saja ;)

Pengasuh Duda [21+]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora