"Nona, saya sungguh tidak beruntung hari ini... Kemarin... Kemarin saya harus berlatih mengangkat batu rantai dari pagi buta hingga tengah malam. Itu karena saya adalah penjaga baru... Otot tangan saya pegal sekali dan tidak mampu membawa beban lagi hari ini..."

Penjaga itu benar-benar menganggap Alresca seperti temannya, mencurahkan seluruh isi hatinya tanpa melihat situasi.

Alresca hanya mengangguk, menepuk-nepuk bahu penjaga tersebut lalu menghela napas.

"Kubilang aku tidak apa-apa, cepatlah berdiri. Orang-orang melihatmu menangis."

Penjaga itu mengusap mata dan mengelap air matanya, berdiri kembali. Wajah garang memelasnya semakin terlihat menyedihkan dengan hidung merah dan kumis yang basah.

Jarang sekali Alresca melihat orang sepolos dan setulus penjaga ini. Bahkan ia bisa menangis didepan orang asing yang baru ditemuinya pagi ini. Ia sadar, mungkin pertolongan sederhananya sangat berarti untuk penjaga ini.

Yah, setidaknya satu orang berterimakasih.

Alresca tersenyum.

"Lap air matamu dengan ini, jangan biarkan penjaga lain membandingkan mata sembabmu dengan otot-otot tanganmu itu."

Ia memberikan sapu tangan kepada penjaga itu, membuat mata penjaga itu berbinar, mulai menangis kembali. Ia terharu atas kebaikan nona kecil didepannya. Melihat betapa lembutnya hati si penjaga, Alresca tertawa kecil.

Si penjaga tersenyum, membungkuk sekali lagi sebelum meraih sapu tangan Alresca.

"Ngomong-ngomong, saya belum sempat mengenalkan diri," Ujar si penjaga sambil mengelap air matanya, "Terimakasih sudah menolong saya hari ini, nona."

"Nama saya Garley. Garley Juventi, nona."

----

Teman Alresca bertambah.

Rurina, Faye, Demirin, sekarang Garley sang penjaga istana juga menjadi temannya. Ia tidak mengira dalam waktu satu bulan temannya melebihi pelayan yang melayaninya dulu di Amburse. Ini termasuk jumlah yang banyak.

Alresca terkikik kecil memikirkan progresnya tinggal di Valvhanra.

Melihat Alresca bolak balik tersenyum saat berlatih menyulam sapu tangan, Rurina, selir ke-18 raja tersenyum. Heran dengan gadis kecil satu ini yang sedang menemaninya.

"Adakah sesuatu yang menarik, nona?"

Awan imajinasi yang mengepung otak Alresca tiba-tiba lenyap. Ia tersadarkan. Ia melupakan aktivitasnya sekarang yang sedang menemani Rurina menyulam sapu tangan.

Langsung saja Alresca meraih benang baru dengan warna yang berbeda, hendak melanjutkan membuat daun untuk melengkapi bunga peony di sapu tangannya.

"Maafkan saya, yang mulia."

Rurina menggelengkan kepala, masih tersenyum.

"Sudah kubilang panggil Rurina saja. Kita kan sepantaran."

Alresca tersenyum santai kembali, ikut menggelengkan kepala, "Secara teknis saya jauh lebih muda dari anda Yang mulia."

"Kenapa begitu?" Rurina mengernyitkan alis, "Bukannya kamu sudah menginjak usia debutante?"

Alresca mengangguk, "Tetapi jabatan saya lebih rendah dari anda, tentu saya yang orang kampung ini harus menghormati selir yang mulia raja."

Rurina tidak bisa menahan tawa. Keanggunan seorang wanita adalah salah satu unsur yang harus dimiliki oleh wanita milik raja. Tangan Rurina menghalang gigi putih yang berjejer rapi disaat mulutnya terbuka dan tertawa kecil.

Rurina memang hampir sepantaran dengan Alresca. Hanya saja Rurina lebih tua dua tahun. Ia datang dari kota kecil di ujung utara Valvhanra dan berhasil lolos menjadi selir 3 tahun yang lalu. Karena umur mereka yang tidak jauh berbeda, Alresca merasa nyaman menghabiskan waktu dan berbincang dengan Rurina. Layaknya teman akrab.

"Benar, bukan? Secara teknis, karena anda sudah tinggal di istana lebih dari 3 tahun maka anda lebih tua tiga tahun daripada saya, yang mulia." Tambah Alresca sambil melanjutkan menyulam.

Rurina hanya tersenyum lalu menggelengkan kepala.

"Terserah nona Alresca saja. Tetapi aku ingin dianggap muda, jadi pertimbangan untuk memanggilku Rurina, ya?"

Alresca mengangguk. Mereka berdua tertawa, asik bercengkerama di paviliun para selir.

Disaat mereka asik berbincang sambil menyulam, seorang selir datang dari gerbang depan paviliun para selir dengan terburu-buru.

"Yang mulia Cadius datang!"

Sontak, Alresca dan selir yang lain yang ada di aula paviliun selir berdiri, bersiap menyambut putra mahkota kekaisaran.

Cadius berjalan dengan santai namun tegas. Kasim dan pengawal pribadinya berjalan mendampingi kanan dan kirinya, satu langkah dibelakang Cadius. Ketika langkah kakinya terhenti, matanya menangkap sosok Alresca yang juga ikut berdiri menundukkan pandangan seperti selir yang lainnya.

Ia menyeringai kecil. Cadius memanggil kasimnya, membisikkan sesuatu.

Alresca penasaran, melirik sedikit kearah Cadius sebelum menatap lantai lagi.

"Nona Alresca," Kasim memanggil.

"Ya?"

"Yang mulia Cadius memerintahkan anda untuk menunggu di paviliun."

Alresca melongo sekian detik, lalu mengalihkan pandangan ke Cadius yang masih berdiri di sebelah kasim dengan tangan menyilang di dada. Ia pura-pura melihat ke arah lain sambil berbicara entah apa ke pengawalnya, tidak menghiraukan Alresca yang hanya berjarak 10 kaki didepannya.

"Paviliun? ...Paviliun yang mulia?"

Kasim mengangguk. Wajah datarnya sangat menyebalkan ditambah kerutan di area mata dan lemak lehernya.

Terpaksa, Alresca hanya menghela napas, kesal. Kalau begitu untuk apa ia datang kemari dan menunjukkan diri jika hanya akan mengirim dirinya ke paviliunnya? Di memintaku untuk menunggunya pula.

Ketika pengawal pribadi Cadius mempersilahkan Alresca meninggalkan harem, ia hanya menurut, berjalan mengikuti pengawal Cadius. Meninggalkan Cadius yang masih di paviliun selir.

Setelah langkah kaki gadis itu tidak terdengar, Cadius memberi salam kepada para selir dan menyusul Alresca ke paviliunnya.

Enthralling LunaticWhere stories live. Discover now