03: Dia yang Membuatku Panik

85 29 2
                                    

Aku sedang mendekam di ruang kerja. Runa, Nara, dan kru lain sedang sibuk dengan tugas mereka. Semua tampak normal, sebagaimana hari-hari yang biasa kulalui di kantor media massa selama ini. Namun, hatiku tidak ada tenang-tenangnya.

Ditilik dari langit merah muda, kemungkinan besar ini mimpi. Sayangnya, batas antara imaji dan kenyataan bagiku sudah kabur sejak aku bisa mengingat isi bunga tidurku saat kecil. Aku baru bangkit dari kursi ketika bau gosong tercium.

Aneh. Ruang kerjaku jauh dari pantry.

Tahu-tahu saja, asap mengepul dari mesin komputer yang ada di bawah mejaku. Tipis memang, tapi tidak seharusnya CPU berasap, kan ....

Bersamaan dengan itu, layar monitor mati seketika. Pekerjaanku sejak berjam-jam lalu belum sempat tersimpan. Penuh kepanikan, aku mencoba kembali menyalakan komputernya. Usaha sia-sia. Kotak yang melapisi peranti komputer terasa membara kala disentuh. Saking panasnya, jariku ikut melepuh dan aku berjengit saking terkejutnya. Lantas, aku terpeleset dan jatuh ke atas kasurku.

Oke, jadi yang tadi itu cuma mimpi.

Namun, mimpi yang bisa kuingat dengan baik segala detailnya ... bukan sekadar mimpi. Ingat?

Jantungku langsung berdentum di atas ambang normal. Kuintip langit yang kini gelap. Masih belum terbit dan jelas sudah tidak terjebak dalam mimpi. Aku berusaha kembali menutup mata, berharap mimpinya terlupakan dan nasib buruk tidak mengintai hari ini, tapi nihil. Boro-boro kembali ke pulau kapuk, terpejam pun sulit.

Mati aku.

Matahari yang mulai mengintip dari horizon pun tidak berhasil menyingkirkan gelap di hatiku. Tanganku refleks meraih ponsel dan menelepon kontak teratas: Mama.

"Ada apa, Nak?" Nada halus Mama menyambut dari ujung telepon. "Biasanya kamu telepon di malam hari?"

Air mata membuat suaraku tercekat. Sebisa mungkin kutahan, karena menangis membuat mataku sembab seharian dan bengkaknya tak bisa disamarkan. "Ma, aku mimpi buruk. Aku enggak bisa melupakan detailnya ...."

"Tenang ya, Nak?" Padahal hanya suara, tapi aku bisa turut membayangkan wajah Mama yang tersenyum. "Azlin bisa mengubah takdir, kok. Tidak semua mimpimu bakal sungguhan kejadian."

"Tapi, Ma, mimpi Azlin selalu terwujud." Getar dalam bicaraku kian jelas. Mama dan Papa harusnya jadi pihak yang paling paham dengan sejarahnya. Mereka saksi kemampuanku menerawang masa depan lewat mimpi sejak aku belia. "Azlin takut ...."

Wanita paruh baya itu menyahut, "Mama selalu doakan kebaikan untuk Azlin dari sini." Andai kami sedang berhadapan, sudah pasti Mama menepuk kepalaku. "Semangat kerjanya, ya, Nak."

Mama punya suara teduh yang menenangkan. Sebagai guru, anugerah satu itu sangat berguna untuk menangani siswa-siswi beliau yang tengah tantrum. Biasanya, suara lembut Mama juga berhasil menentramkan hatiku. Namun, kali ini berbeda. Setelah sambungan terputus, ketakutan itu malah makin menjadi seiring bayang-bayang mimpi yang kian jelas.

Ini sisi menyebalkan dari kemampuanku. Rasanya macam dihantui.

Setelah membuat sandwich telur yang entah bagaimana rasanya karena dibuat dalam kondisi hati yang kacau, aku berangkat kerja. Jalanku setengah melayang dan rasanya dunia langsung memasuki mode sunyi. Hanya ada aku dan suara khawatir yang nyaring dalam kepalaku. 

Sengaja kugerai rambut merah ikal panjangku hari ini. Gerah? Jelas. Akan tetapi, siapa tahu rasa panas ini bisa membantuku melupakan mimpi. Mimpi yang tak kuingat setelah bangun tidur takkan terwujud, itu kuncinya.

Percuma saja. Malah makin terpatri dalam benak. Asap membumbung, layar hitam, data hilang ... bayangan itu malah makin jadi seiring jarak ke kantor yang menipis.

[END] The Boy I Met in DreamUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum