Syukur-nya, setelah aku berkali-kali terombang-ambing ada orang baik yang menarikku dari lautan.

Ingin berterimakasih, tetapi fokusku malah ke sempak merah terang agak glowing.

"Kamu nggak apa?"

"Cuma basah kuyup, Pak. Itu penjahat yang jatuhin aku ada di atas lagi plonga-plongo. Tolong pukul kepalanya ya."

"Bukankah dia kakakmu?"

Aku seterkenal itu, ya?

"Iya. Tapi pukul aja biar otaknya normal."

Dia setuju, dan begitulah aku menjadikan Superman salah satu hero favorit.

.
.

"Kita jangan ngintip, Kak." Aku turun dari gendongan Conner. Kakak keduaku itu masih mendiamkanku karena menjadi penyebab kepalanya dipukul Superman. "Nanti bintitan, loh. Nanti nggak dilirik Timothy."

"Jadi sekarang kamu dukung big bro-mu ini dengan Tim?"

"Pake nanya. YA ENGGAK LAH!"

Aku berkacak pinggang, mataku menyorot ke Conner yang juga bengis menatapku. Kami beradu tatapan seperti banteng yang akan saling menyeruduk. Oh, ralat. Seekor banteng dan pria jamet yang kini sudah diseruduk.

"Aku nggak bakalan setuju ya!"

"Aku nggak butuh persetujuan siapapun. Lex saja tidak pernah setuju jalan hidupku dan aku tidak masalah tuh."

"No Homo."

Dia tidak menjawab, kali ini mungkin benar-benar kesal.

Aku hendak meminta maaf kalau saja Conner tidak buru-buru terbang menjauh. Aku berkedip, masih berharap dia kembali. Namun tiga puluh menit sudah berlalu dan tanda-tanda dia kembali tidak ada.

Kesal, aku menendang batu yang siapa sangka bisa membuat jebol tembok rumah.

"UPS."

.
.

Terluntang-lantung adalah kadaanku sekarang. Buta arah, tidak membawa smartphone. Jika ada orang yang melihat niscaya aku akan dianggap anak tersesat yang membutuhkan pelukan ayah botak. "CONNER KAMU NYEBELIN!"

Dia pasti marah besar, jika tidak dia dengan kekuatan pendengaran supernya tidak akan mengabaikanku.

"Loh An, ngapain di sini?"

"KAK RESTI!!"

Aku menghambur ke pelukannya, agak terisak dengan muka paling jelek hari ini. Tanganku menunjuk-nunjuk langit, terisak, mengadu segala hal yang terjadi malam ini. "Aku dan Conner bertengkar lalu dia meninggalkanku."

"Kurang ajar itu anak, biar aku cari dan puk- eh An jangan nangis."

"Nggak nangis."

Sumpah kok, aku nggak nangis. Ini pasti air mata gabut yang mau mendramatisir keadaan. Aku nggak nangis. NGGAK NGGAK NGGAK.

"Aku cuma kaget Conner marah, aku kira dia nggak masalah kayak biasanya. Aku kelihatan jahat banget," keluhku. Sepasang tangan segera menghapus air mata yang mengalir. AKU NGGAK NANGIS.

"Ah itu."

Kak Resti pasti juga bingung.

"Gimana nih, aku mau minta maaf tapi aku nggak tau jalan pulang. Aku nggak tau lagi ada di mana."

"Ini di Gotham."

Laki-laki lain tiba-tiba mendarat di depan mataku, aku mundur sehingga tidak sengaja tersandung dan terjatuh ke tanah. Laki-laki serba hitam-biru panik, dia cepat-cepat mengangkatku seperti mengangkat anak kucing.

"Sorry. Aku terlalu senang melihat adik ipar secara langsung sampai nggak berfikir jauh. Duh, benar-benar bodoh."

Kedip-kedip.

Laki-laki di depanku jelas Dick Grayson, tanpa bertanya pun satu-satunya yang mau dengan kakakku yang aneh pasti sama anehnya dengan dia. "Kak Nightwing coba putar balik."

"An. Dick jangan!"

Telat!

Aku manyun, kecewa berat.

"Resti, kenapa adikmu kelihatan kecewa?" tanya Dick. Dia khawatir tindakannya membuat aku tidak suka padanya.

"Dia cuma kecewa pantatmu tidak glowing."

"Oh ... Eh gimana?"

"Dia pernah bilang pantatmu mengkilap, jadi curiga apakah bisa kerlap-kerlip. Begitu, Bundo. Iya kan An?" Kak Resti berbalik, terkekeh sebentar sebelum kembali memanggil namaku. "AN?"

Aku menghapus kembali air mataku.

"AKU NGGAK NANGIS KAK!"

Aku cuma takut Conner marah.

Keluarga BencanaWhere stories live. Discover now