Ketidak Adilan Untuk Perempuan

45 32 4
                                    

Pagi hari aku duduk di depan rumah sambil meminum segelas teh hangat, udara yang sejuk, suara burung burung menghiasi pagi hari.
Ibuku tiba tiba menghampiriku, dengan membawa teh yang sama denganku.

"Nak ibu mau ngomong sesuatu sama kamu". Ucap ibuku dengan serius
"Ada apa bu?". Jawabku

"Kamu ini kenapa, setiap ada lelaki yang datang buat ngelamar kamu, kenapa semua kamu tolak?".  Tanya ibu

"Ya gapapa, akunya ngerasa kurang cocok aja, lagian ya bu, aku ini belum siap buat menikah, aku pengen kaya bapak, jadi guru". Jawabku

"Mau ngapain kamu jadi guru? Cwe itu wajib buat nikah, kalo ga nikah nanti jadi perawan tua". Ucap ibuku, dia ingin sekali aku menikah.

"Udah lah bu, aku ga mau bahas nikah, aku mau nyiram tanaman aja". Aku sedikit kesal karena ibu terus mendesakku agar aku menikah.

"Tapi nak-". Belum sempat ibu menyelesaikan ucapannya, aku pergi ke dalam rumah.

Aku lebih suka menyiram tanaman, belanja ke pasar, dan mengurus hewan peliharaan. Daripada mengurus rumah, bukannya aku ga bisa beberes rumah, tapi ya aku kurang suka.

Alasan aku tidak ingin menikah cepat cepat juga karena ga mau jadi ibu rumah tangga, yang setiap hari hanya mengurus rumah, pasti sangat capek.

Saat sedang menyiram tanaman, aku melihat ada ibu ibu yang sedang di jambret, seketika aku keluar dengan membawa seember air.

"Jambret! Jambret!". Teriakku sambil menyiram pelaku dengan air yang kubawa.

Pelaku ketar ketir ia langsung berlari dengan muka yang panik.

"Makasih ya nak". Ucap ibu ibu itu kepadaku

"Sama sama bu". Jawabku

Aku kembali kedalam rumah, ibu yang mendengar teriakkan ku segera menghampiri ku dengan muka yang cemas.

"Kamu kenapa? Dimana jambret nya? ". Tanya ibuku

" Aku gapapa mah, jambretnya udah lari ketakutan". Jawabku

Di dalam kamar, aku diam diam membaca buku, jika ibu tau aku pasti di marahi, ibu tak suka aku membaca, ia lebih suka jika aku melakukan pekerjaan rumah.

Saat sedang asyik membaca, aku mendengar suara langkah kaki yang menuju kamar ku, aku buru buru memasukkan bukuku ke bawah kasur.

Ada yang mengetuk pintu, aku sudah bersiap siap jika itu ibu, aku sudah terpikirkan jawaban jika dia bertanya apa yang aku lakukan.

Aku membuka pintu, ternyata yang mengetuk pintu bukan ibu! Tapi, temanku namanya Sari.

Huhhh! Aku menarik napas panjang, lega rasanya ternyata itu bukan ibu.

"Ayo cepet masuk sar!". Ajakku sambil segera menutup pintu.

"Aku punya buku baru, yang aku pinjem dari perpustakaan sekolahku". Ucap Sari sambil mengeluarkan buku barunya.

"Wah!! Kamu emang paling bisa bikin aku seneng sar". Ucapku kegirangan.

"Nih bukunya, tapi inget ya, jangan sampe ibu kamu tau, nanti aku lagi yang kena". Ucap sari sambil memberikan bukunya.

"Siap sar, makasih ya". Ucapku

"Sama sama". Jawab Sari

Kami pun membaca buku bersama, mengobrol bersama. Sari menceritakan tentang sekolahnya, ia bercerita ketika ia sedang ujian, dan ketika bel istirahat dibunyikan, tak lupa ia juga bercerita tentang lelaki yang disukainya! Sedangkan aku, aku hanya bisa mendengar kan, karena aku tidak sekolah.

Hari sudah melewati jam 1 siang. Sari berpamitan pulang, aku mengantarkan dia. Ketika balik ke dalam kamar, aku terkagum kagum dengan buku yang ada di atas kasurku. Ya! Buku yang di berikan Sari tadi, buku itu adalah buku ilmu pengetahuan.

Mendengar cerita Sari tadi, aku menjadi sangat sangat ingin bersekolah, aku membayangkan jika membawa buku dengan pensil yang nanti akan ku gunakan untuk menulis.

Sangat tidak adil! Mengapa hanya Sari yang bersekolah? Mengapa aku tak boleh bersekolah? Mengapa perempuan hanya di wajibkan untuk menikah dan mengurus rumah? Perempuan juga memliki impian. Perempuan juga pantas mendapatkan pendidikan, mengapa hanya perempuan tertentu yang bisa bersekolah? Tanyaku dalam hati.

Aku melihat banyak sekali perempuan yang putus sekolah hanya karena mereka akan di nikahkan dengan lelaki yang tidak mereka kenal. Aku juga banyak melihat keringat yang bercucuran akibat kelelahan mengurus rumah, apalagi jika mereka harus kerja mencari uang, sungguh aku tak tega melihatnya. Aku bertekad untuk tidak mengikuti tradisi terdahulu, dimana aku ingin perempuan di samakan dengan laki laki, entah dari pendidikan, status sosial dan lain lain.
Sungguh tidak adil jika perempuan terus di pandang hanya untuk memuaskan nafsu para lelaki, dan di jadikan pembantu di rumah suaminya sendiri.

Merindukan yang hilang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang