4. Aku juga punya Papa!

126 17 0
                                    





Suara bising ambulans yang ditempati Luna tak mampu dihindari oleh indra dengar. Jelaga coklat keemasannya menatap sayu keberadaan pria di sisi kanan.

"Papa kembali..." bisiknya lemah.

Sham mendekatkan telinganya pada mulut Luna, guna menyimak lebih jelas apa yang dikatakan.

"Luna senang lihat Papa..."

Kini gadis kecil itu mengeluarkan isakan, menimbulkan reaksi cemas dari dua perawat serta Sham yang bingung hendak berekspresi apa.

Salah seorang perawat darurat wanita di sana memberikan elusan lembut pada punggung tangan Luna. "Adek, tahan sebentar lagi, hm? Nanti ibu dokter akan kasih obat kalau sudah sampai rumah sakit."

Luna tidak menghentikan tangis. Sekujur tubuhnya memang terasa sakit, tapi perasaan bahagia itu lebih mendominasi hingga buncahannya membuat ia tak dapat membendung air mata.

Tenaga yang lemah memaksa Luna agar menyeret lengan supaya bisa meraih jemari Sham.

Sham yang menyaksikannya, secara kaku meraih tangan mungil itu, kemudian secara alami tergerak untuk mendekap menggunakan telapaknya yang besar-- berbagi kehangatan.

Sebelumnya Sham tidak pernah merasa sehangat ini saat berinteraksi dengan anak kecil. Semenjak keluar dari kehidupan ramai panti sejak umur enam belas tahun, ia mulai melupakan perasaan menyentuh itu sampai dirinya berumur empat puluh seperti sekarang.

Pergerakan mobil terasa berhenti, hingga akhirnya akses masuk yang menghalau pandangan keluar mereka terbuka.

Brankar yang Luna tiduri mulai didorong melewati lorong rumah sakit. Dua tangan tersebut masih bertautan sebelum akhirnya terpisah sebab Luna mesti melaksanakan serangkaian penanganan.

Telah lewat sekian menit, dan belum ada tanda-tanda dokter maupun perawat akan keluar. Sham duduk gelisah pada kursi tunggu rumah sakit. Sudah begini, dan dirinya masih bingung apakah keputusannya telah benar atau salah.

"Permisi?"

Seorang pria bertubuh atletis menginterupsi, tampak seumuran dengannya. Sham berdiri menerima uluran lengan pria tersebut hingga jabat tanganpun terjalin singkat.

"Saya Zack, wali dari pasien bernama Luna."

Sham tak memberikan ekspresi selain datar saat pria bernama Zack itu tersenyum karir.

"Sebelumnya terimakasih banyak atas bantuannya, saya merasa berutang budi atas jasa Anda terhadap putri kami."

Sham mengangguk pertanda bukan masalah besar. "Sama-sama."

Ia berpikir, apakah dia ayah yang selama ini gadis kecil itu nanti? Jika begitu, berarti Sham tidak harus mengambil tanggung jawab atas Luna setelah ini.

"Sekali lagi--"

"Wali dari pasien Luna Atmaja?" Dokter wanita memangkas ucapan pria asing tersebut.

Dan pria yang mengenalkan diri sebagai Zack tadi mengangkat tangan. "Saya, Dok."

"Oh, mari duduk sebentar. Ada yang ingin saya sampaikan mengenai kondisi pasien."

Dengan demikian, Sham bisa angkat tangan dan pulang. Toh, ayahnya juga sudah datang, jadi dia tidak perlu lagi merasa terbebani dengan perasaan yang mengganjal seperti tadi. Ia akan pulang dan menjalani hari sepi seperti biasa, tak terlalu buruk, kok. Bocah itu juga sudah menemukan papanya, jadi ia tak perlu pusing akan ke depannya nanti.

Sham menghela nafas kasar, nyatanya ia cemas dan bimbang. Sham penasaran akan kondisi bocah itu. Juga, wajahnya yang lugu susah menghilang dari benak, berputar bak kaset rusak hingga membuatnya terganggu.

Papa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang