Tiga-A

12 3 0
                                    

Semenjak kehadiran Arthur, Annelise merasa hidupnya tak lagi seburuk itu. Batin yang hampir kehilangan arah kembali pada tempatnya, nestapa yang hampir merajalela itu mulai sirna dari tempatnya, dan kalimat yang ia benci itu perlahan membuka pikirannya, surga dunia – katanya. Diri yang penuh dengan rasa sakit itu mulai bangkit, menelisik pada pikiran-pikiran kacaunya, menenangkan jiwa rapuhnya yang hampir mengakar mati, sepi.

Surya telah tenggelam, kabut menelannya. Senja bersembunyi digantikan malam yang gemintangnya membentang menghiasi akasa dengan penuh, membawa setiap netra yang melihatnya pada awang-awang jauh kesana, membiarkan para kekasih menikmati indahnya hiasan malam itu, bahkan membiarkan manusia yang ditakdirkan sendiri untuk menatapnya dengan sendirian, dari atas dahan pohon rimbun itu. Beberapa dari mereka telah terlelap, sebagian lagi seperti wanita dewasa sedang menenun baju, atau pria yang menulis catatan pada buku hariannya, sunyi.

Annelise menatap keatas langit, jiwanya ikut dibawa angan, jauh pada lapisan-lapisan langit yang lebih tinggi daripada itu. Semerbak wangi bunga-bunga taman memenuhi indriyanya, membuatnya semakin dalam jauh pergi pada angannya sendiri. Sepoian angin menghempas rambut terurainya pelan, Annelise memejamkan mata menikmati kesendirian.

"Cantik," Annelise membuka matanya perlahan, sekuntum mawar merah berada tepat dua inchi dari matanya, ia meraihnya. Annelise menepuk tempat duduk disampingnya pelan, mengisyaratkan Arthur duduk disebelahnya sebagai penawar rindu. Annelise menghirup mawar merah itu dalam, ada ketenangan disana. Malam semakin mencekam, rembulan semakin pada puncaknya. Annelise melempar senyum pada Arthur.

"Sampai kapan?" tanya Arthur.

"Hm?" Annelise menatap heran pada Arthur.

"Kapan kau akan memberikannya padaku?"

"Hm?" tanya Annelise lagi, dahinya berkerut.

"Ini," Arthur menyentuh satu dari bagian dirinya, "hatimu," ujar Arthur kemudian, Annelise tersenyum.

"Tunggu aku yakin, sebab janjiku pernah teriris, sungguh benar-benar perih, aku takut untuk memulai lagi." Arthur berdiri, memberikan tangannya pada Annelise, mengajak Annelise untuk berdansa di halaman kastil itu, mesra.

Kedua manusia itu berdiri, saling menautkan tangan diantara keduanya. Jemari yang saling bertemu, senyum yang saling melempar, Annelise akan mati dibuatnya, dalam kegelisahan mereka masih berdansa, sungguh begitu syahdu. Arthur melempar senyumnya, tepat saat Annelise berhenti mengitarinya.

"Cukup Tuan! Aku akan mati dibuatmu," bisik Annelise

"Mengapa?" Arthur kembali bertanya, menatap dalam matanya.

"Sungguh senyum itu mematikan," Annelise tersipu, membuat Arthur tertawa kecil dengan tingkahnya.

"Sungguh aku benci dengan keadaan ini Anne," keduanya kembali duduk dan menatap langit, "kau menyukai keindahan bibirku, mengatakan bahwa senyum mempesonaku sungguh mampu mematikan detak jantungmu sebentar, tapi kau tidak berani membuka hati itu untukku."

"Jahat kan?" kali ini Anne yang bersuara, "tidak ada lagi yang bisa kau harapkan dariku Tuan muda, kecuali kau bersedia menungguku sampai pada titik lelahmu," Annelise berdiri, "beginilah aku, banyak lukanya sehingga takut untuk kembali percaya pada seseorang. Aku rasa memberi ruang pada orang asing sama dengan merusak diriku sendiri. Aku terlampau resah akan hidupku sendiri." Arthur berdiri mendekati Anne.

"Tidak ada yang jahat disini, hanya mungkin kau belum mampu menerima takdirmu Anne,"

"Persetan dengan takdir, aku benci itu!" tegas Annelise

"Jangan terlalu membenci sesuatu, kadang itu tidak baik bagi dirimu,"

"Kau juga sama," ujar Anne melirik Arthur lalu kembali menoleh pada langit diatas sana.

"Aku?"

"Iya!"

"Ada apa dengan aku? Aku tidak pernah membenci sesuatu secara berlebihan."

"Benar, kau memang tidak pernah membenci sesuatu secara berlebihan, tapi rasa cintamu akan suatu hal terlau berlebihan, Tuan Arthur!" Annelise berbalik badan berniat memasuki kamarnya.

"Annelise," panggil Arthur sambil berjalan ke hadapan Annelise, mereka berhadapan kini.

"Pergilah Arthur, aku ingin istirahat!" Annelise berjalan maju, namun Arthur masih menghalanginya, "hei, kau mau di halaman sampai semalaman juga tidak masalah, tapi tolong Tuan, Annelise ini ingin tidur, kantuk sudah menyerangku dengan sangat, jadi tolong minggir dari sana!" Annelise membuang nafasnya lembut dan sedikit panjang.

"baiklah," Arthur menggeser badannya membiarkan Annelise melewatinya, "Selamat malam Anneliseku," ujar Arthur kemudian membuat Annelise tersenyum meninggalkan Arthur sendirian di halaman itu.

Annelise berjalan ke kamarnya dan melepas jaketnya, dingin memasuki kamarnya melalui jendela yang tidak tertutup dengan rapat, menusuk pada tulang-tulang badannya, malam itu dingin, juga sepi. Annelise duduk disamping jendela, melihat Arthur yang masih berada di halaman melalui celah-celah jendela. Benar, pria itu menantinya memberi sesuatu yang telah tercabik-cabik berulang kali.

Annelise kerap kali ingin memberikan hati yang hancur itu pada Arthur dan berharap Arthur akan membantu menyusunnya kembali dengan rapi seperti sedia kala, namun ketakutan pada dirinya melebihi keinginan nya untuk kembali menyusun rapi hati yang telah hancur. Ia takut bahwa Arthur hanya datang untuk menjadikannya bahan lelucon, sementara Anne menuruh seluruh hatinya pada Arthur. Annelise selalu berusaha sekuat yang ia bisa untuk membunuh perasaan yang hampir tertanam dalam dirinya itu, sakit. Namun baginya akan jauh lebih sakit jika ia terluka berulang kali. Annelise menghela nafas, pikiran riuh ini selalu mendatanginya tiap malam.

Aku hanya ingin tenang – batinnya.

Annelise berdiri, kembali pada tempat tidurnya, merebahkan dirinya disana, membiarkan jiwanya beristirahat barang sejenak, sementara, atau mungkin selamanya – harapnya. Isi kepalanya terlalu ramai, riuhnya tak kunjung henti, membuat Annelise berulang kali menata posisi nyamannya untuk beristirahat, bahkan hingga lolongan anjing terdengar ia masih tak bisa ternyenyak dalam tidurnya, miris sekali.
.....
Bersambung

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mawar yang PatahWhere stories live. Discover now