"Tuan bisa saja," kedua manusia itu saling menatap sebentar, kemudian melemparkan pandangan mereka pada telaga di depan. Angin menerpa kehengingan diantara mereka.

"Kau percaya pada kata cinta Nona?" tanya pria itu tiba-tiba. Annelise berharap Arthur akan datang saat ini, menyelamatkan ia pada pertanyaan yang tidak ingin dijawab olehnya.

"Cinta? Apa itu?" Annelise kembali bertanya.

"Kurasa kau tahu apa maksudku Nona," Annelise dan pria itu saling menatap, dalam, ada sesuatu yang sulit diartikan jauh di dalam sana. "Ya maksudku, kau terpandang, tentu kau dikelilingi oleh banyaknya cinta. Benar bukan?" Annelise tersenyum

"Cinta darimana yang kau maksudkan Tuan, cinta keluarga yang rela mengkhianati aku? Atau cinta seseorang pria yang berani mengingkari janjinya? Aku hanya percaya bahwa cinta adalah satu hal yang paling mematikan di dunia," Annelise tersenyum lagi, air matanya sepertinya sudah berkumpul untuk jatuh secara bersamaan, perih. "lantas menurut Tuan, kau percaya cinta?" tanya Annelise. Lelaki itu terdiam sejenak.

"Ya, aku percaya,"

"Mengapa? Apa karena kau tidak pernah terluka karena cinta? Atau kau menghibur diri karena sudah sering tersakiti oleh cinta? Hm?"

"Aku pernah tidak percaya, dan itu dulu. Sekarang aku percaya cinta. Sebab dari cinta, aku menemukan binar dari mata indahnya, bahagianya, dan segala tentang dia memenuhi fikiranku, dan itu selalu." Annelise tersenyum malu, ia membayangkan jika yang mengatakannya adalah Arthur, sungguh Annelise sepertinya telah jatuh cinta pada Arthur.

"Hufthh," Annelise membuang nafasnya lembut dan berat, mengalihkan pandangannya untuk menutupi ranum merah di pipinya.

"Ada yang salah dari ucapanku Nona?" pria itu tersenyum melihat tingkah aneh dari Nona dihadapannya, dan itu Annelise.

"Jangan terlalu percaya pada cinta, ia akan jadi bumerang untukmu, Tuan!" Annelise tertawa kecil. Baginya, persetan dengan kata cinta setelah perasaan cintanya dirusak satu persatu, tercabik cabik secara perlahan.

"Bagaimana kalau aku enggan berhenti mencintainya? Bagaimana kalau aku rela mati demi dirinya? Yah, meskipun aku baru mencintainya beberapa waktu lalu, tapi aku yakin perasaan ini benar-benar cinta."

"Pemikiranmu sungguh bodoh, Tuan!", Annelise menatap pria itu, tatapan penuh ejekan, "dasar budak cinta, perjuangkan saja gadis yang kau sukai itu, aku harap dia tidak akan menolakmu saat kau menyatakan cinta padanya. Apalagi setelah ia tahu bahwa kau adalah pria budak cinta." Annelise berbalik hadap, melangkah pergi sebab yang ditunggu tak kunjung datang.

"Lalu bagaimana kalau kau adalah gadis itu? Kau akan menolakku?" Annelise terhenti.

Pria ini sungguh menyebalkan, andai yang mengatakan itu padaku Arthur - batinnya

"Aku ini banyak lukanya, Tuan. Lagipula, sejak dahulu tidak pernah ada yang lama menungguku, jangankan menunggu, mengenal saja tidak mau. Dan kenyataannya, semua orang selalu takut padaku. Mati saja kau dalam cintamu itu," jawab Annelise, "toh aku ini pembawa sial, kau mencintaiku sama dengan kau mencari sial di hidupmu. Dan satu lagi, aku ini murah, carilah wanita yang lebih berkualitas dari pada aku. Mencintaiku sama dengan mempercepat kematianmu!" tutur Annelise dengan tegas. Padahal pipinya saat ini sungguh benar-benar seperti kepiting rebus, tapi ia mencoba redam sebab pria itu bukan Arthur, sosok yang ia harapkan. Annelise sungguh naif, jika pria lain yang mengatakan cinta ia menolak sebegitu kuatnya, namun dihatinya masih mengharapkan Arthur untuk mengatakan hal bodoh itu padanya.

"Tak peduli kau banyak lukanya," pria itu pelan sembari berjalan kearahnya, "Nona Annelise," pria itu kini tepat disampingnya, senyumnya menggoda tepat pada saat Annelise menoleh kearahnya. Sungguh Annelise tidak mampu menyembunyikan rasa malunya, ia seolah dibuat terbang oleh ucapan pria itu.

"Emm, aku akan pergi, sepertinya yang aku tunggu tidak akan datang," Annelise menjawab canggung dan begitu kaku, lalu menyincingkan kain roknya sedikit, berniat pergi dari sana. Pria itu menghalangi jalannya, tersenyum lalu membungkukkan badannya sambil mengepalkan kedua tangannya pertanda sebuah permintaan maaf, sungguh senyuman yang mematikan bagi Annelise.

"Maaf, aku terlalu lancang padamu," pria itu mengangkat kepalanya, "Putri Annelise, hamba adalah Arthur. Maaf jika kesannya aku sudah mempermainkanmu," Annelise terkejut, benar-benar terkejut. Kalimat itu seolah terdengan seperti sebuah sihir bagi Annelise. Annelise berjalan mendekat pada Arthur, berjinjit sedikit membuat tinggi Annelise hampir sama dengan Arthur. Annelise mendekatkan bibirnya di sebelah Arthur.

"Sial, senyummu sungguh menghentikan detak jantungku, Tuan! Sungguh mempesona. Bisa-bisa aku mati dalam senyumanmu," bisik Annelise pelan namun tertangkap jelas oleh pendengaran Arthur, nafas yang begitu hangat.

"Dan aku, sungguh benar-benar mencintaimu, Annelise Adalgiso!" Annelise benar-benar mematung kali ini, ia akan mati dibuat mati oleh Arthur. Dasar Annelise, wanita naif soal cinta.

Disinilah kisah mereka dimulai. Kisah si mawar ranum yang kelopaknya akan hancur karena cinta, menyedihkan.

Bersambung
..........
Jangan lupa baca cerita "Perih pertama"

Terima kasih untuk supportnya teman-teman

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Terima kasih untuk supportnya teman-teman

Mawar yang PatahWhere stories live. Discover now