1. Perpisahan dan Harapan

308 32 3
                                    





Seorang wanita dewasa berpakaian sederhana tampak sibuk dengan tumpukan baju di lemari, mengeluarkan potong demi potong kain untuk dimasukkan dalam tas besar secara sembarang. Seolah dikejar waktu, ia bergerak gesit mengepak apa yang sekiranya dibutuhkan, tak peduli tampilannya berantakan atau tidak.

Suara gaduh yang ditimbulkan karenanya tak terhindarkan, hingga menarik perhatian seorang gadis kecil untuk memeriksa. Netra bulat berwarna coklat keemasan memperhatikan kesibukan sang ibu dengan bingung dari ambang pintu.

"Mama mau pergi?"

Kegiatan wanita yang dipanggil Mama terhenti setelah resleting tas ditutup, ia beralih menatap si gadis kecil.

"Sayang..." panggilnya, lantas memberikan secuil senyum setidaknya sebagai kali terakhir. Wanita itu beranjak, lalu berjongkok di hadapan putrinya. "Mama mau pergi kerja, Nak."

Si gadis kecil melihat mama yang menyorotinya secara teduh. Tiap kali tatapan seperti ini diberikan oleh sang mama, membuat Luna-gadis kecil berumur lima tahun itu-merasakan aman dan dilimpahi sayang. Sorot mata yang diberikan sama seperti; ketika Luna berhasil meraih suatu pencapaian kecil kemudian ia akan diberikan sebuah hadiah. Dan itu merupakan tatapan mama kala dia sedang tidak marah. Juga, tatapan meyakinkan yang menuntut Luna untuk percaya.

"Terus, kenapa Mama bawa tas besar?"

Sebelum menjawab, Lena berdiri dan menggandeng Luna menuju sofa tua di ruang tamu.

"Ayo duduk sini, Mama dongengin cerita empat Putri."

Luna tidak membantah, ia menurut patuh lalu menidurkan kepala di paha sang ibu. "Mama, kenapa bawa tas besar itu?" tanyanya kembali.

Lena berdesis agar Luna tak menuntut jawaban.

Lantaran tak mau mama marah, tak ingin merusak suasana hangat ini oleh rasa penasarannya, Luna memilih mempertahankan diri bersama kenyamanan yang Lena berikan dibanding meladeni kebingungannya mengenai tas besar.

Tangan Lena terangkat mengelus kepala Luna berharap kantuk lekas datang, kemudian mulai menceritakan kisah yang pertama kali diperdengarkan.

"Alkisah di suatu negeri bersama Skyland, terlahir empat putri cantik dan pandai. Mulai dari Putri Sophia, Putri sulung kerajaan Sky yang mahir dalam seni lukis dan pahat. 'tiap goresan kuas dan patung yang dia buat seolah memiliki jiwa."

"Waaah, pasti Putri Shopia punya tangan ajaib." Luna berkomentar antusias.

Lena menganggukkan kepala sembari berdehem. "Terus, ada Putri Janice, yang punya ikatan sangat kuat dengan alam. Dia bisa bicara dengan hewan-hewan hutan, merawat tanaman dengan mantra, dan memberi kehidupan pada setiap tanaman yang disentuh."

Luna mengerutkan kening lantas bertanya, "Putri Janice seperti Mbah Dukun, dong?"

Lena terkekeh, tangannya mengelus lembut kernyitan di kening halus milik si gadis cilik. "Kok, jadi Mbah Dukun?"

"Pipoy yang kasih tau! Kemarin kita dengar lagu Mbah Dukun sama-sama dan Luna nggak tau Mbah Dukun itu siapa, terus aku tanya Pipoy dan dia jawab, Mbah dukun itu orang yang bisa menyihir sesuatu pakai mantra." Jadi Luna mulai menyimpulkan penjelasan mengenai pembahasan Mbah dukun bersama Pipoy tempo lalu, bahwa, "Orang yang bisa mantra itu namanya Mbah Dukun."

Penafsiran Luna membuat gelak tawa Lena menguar, bahkan ia membutuhkan sedikit usaha untuk menetralisirnya. Pola pikir dua bocah cilik itu memang sulit ditebak. Lena juga mengakui kehebatan Pipoy karena bisa menjawab pertanyaan bocah bawel seperti Luna dengan lancar.

Papa!Where stories live. Discover now