I'll weather your storms for the stillness in you

3.3K 357 70
                                    

Content warning // implied sexual activities.

───────────────────────

Secara teori, Heeseung menerima tawaran Jake untuk tidur di kamarnya adalah sebagai bentuk dari pertahanan diri. Tidur di sofa tanpa adanya penghangat ruangan di pertengahan bulan November adalah sesuatu yang Heeseung tidak ingin rasakan. Lebih baik ia kembali pulang ke rumahnya daripada ia harus menggigil kedinginan sepanjang malam, pikirnya.

Tetapi mungkin Heeseung lebih masokis daripada yang ia kira, karena kini ia harus menghabiskan malam tepat di samping Jake—orang yang selama ini ia sembunyikan dari perasaannya sendiri.

Ia masih terbangun di sunyinya malam ketika Jake sudah berhasil terlelap sejak beberapa jam yang lalu, dan jika Heeseung benar-benar mendengarkan, ia dapat menemukan ritme monoton dari buai dengungan mesin penghangat ruangan—yang untungnya tidak rusak di kamar tidur Jake.

Sedangkan di luar pembatas gedung ini, di jalan-jalan yang sepi dari kehidupan, waktu seakan tertahan dalam siklus tak terbatas, dan hanya Heeseung lah satu-satunya yang tersisa. Beberapa jendela yang masih menyala di antara banyak bangunan di Seoul menciptakan ilusi di tengah hembusan angin di penghujung musim gugur; nostalgia perihal semua keberadaan yang tidak diketahui Heeseung. Berbagai macam pertanyaan memenuhi isi kepalanya.

Mengapa dirinya masih terbangun di jam tiga malam? Apakah ia tidak bisa tidur ataukah ia terlalu gusar untuk tidur? Ataukah Heeseung terlalu cinta pada pemandangan di sampingnya—karena kini mimpi indahnya kalah dengan kenyataan sehingga ia tidak lagi ingin tidur? Sehingga ia lebih memilih untuk mengabadikan momen ini sebisa mungkin di balik ingatannya, agar suatu saat nanti bila Tuhan bertanya apakah ia sudah cukup berbagi kasih semasa hidupnya, Heeseung bisa menceritakan segalanya tentang Jake pada-Nya.

Tersesat di antara semua baris pertanyaan yang ada, ia memejamkan matanya untuk sejenak. Tubuhnya terlalu lelah ketika adrenalin di aliran darahnya sepenuhnya hilang sehabis mabuk.

Ini adalah pertama kalinya Heeseung menginjakkan kaki di kamar yang bukan miliknya setelah bertahun-tahun lamanya. Menurutnya, kamar Jake layaknya tempat sakral yang bahkan Heeseung sendiri tidak pantas untuk berada di sini; dipenuhi oleh barang-barang yang bersifat personal seperti gitar akustik yang terletak di samping kasur, beberapa koleksi parfum dan lilin aromatik yang tertata rapi di atas meja belajar, serta cermin tinggi dekat dengan jendela. Semua yang ada di kamar ini, Heeseung bisa bilang, sangat mencerminkan Jake.

Terlebih ketika Jake memberinya kaos paling besar yang bisa ia temukan di lemarinya dan sweatpants abu-abu yang ternyata ujungnya menggantung beberapa senti di atas mata kakinya. Dan Heeseung hanya dapat menerima dengan senang hati.

Matanya kembali terbuka mengerjap ketika ia merasakan tubuh Jake semakin bergeser mendekat ke arahnya. Ia melirik, kemudian mengubah posisinya sehingga mereka kini saling berhadapan. Hanya ada jarak sejengkal saja yang memisahkan mereka berdua.

Tidak pernah terpikirkan olehnya kalau suatu saat nanti ia bisa berada di posisi ini. Redup cahaya rembulan berhasil lolos dari celah tirai, mendarat di permukaan kulitnya yang halus. Bulu matanya yang panjang menyentuh pipi dan rambut legam membingkai wajahnya manisnya.

Ribuan sosok yang pernah Heeseung temui di jalan, ratusan kota dengan pemandangannya yang indah yang pernah Heeseung kunjungi; dan Heeseung tahu bagaimana indahnya spektrum warna yang terbentuk menjadi sebuah pelangi ketika hujan usai. Namun Heeseung tak pernah melihat sesuatu yang lebih cantik daripada lelaki di hadapannya. Tidak ada satu pun kata, dari bahasa mana pun, yang sanggup mendeskripsikan betapa indahnya Jake.

Heeseung menahan diri, cukup memaksakan dirinya sendiri untuk meletakkan kedua tangannya di bawah bantal agar tidak berkeliaran mengembara ke tempat lain. Lalu, ia berbisik, "Good night, Jake."

someone to take you home | HEEJAKEWhere stories live. Discover now