7.) Pukis Janda Kesayangan Papa

58 15 4
                                    

Mampir kemana lagi Mas Arya ini mengambil mobil aja lama banget. Kebangetan! Sudah hampir 30 menit belum pulang juga aku bahkan sudah menghabiskan tontonan kesukaan Rio. Kulirik Rio yang masih asyik dengan acara favoritnya, sesekali menguap menahan kantuk. Mungkin obat yang diminum Rio mulai berefek.

"Rio mau tidur sekarang?"

Anak berkaus biru itu menggeleng yakin. Televisi menayangkan iklan komersial yang membuat Rio terganggu. Dia menyenderkan kepala ke bahuku. Refleks kuelus puncak kepalanya dan kukecup perlahan. Dia semakin menenggelamkan diri di ceruk leherku. Aku tidak menyangka tindakan itu meningkatkan kemanjaan Rio dan membuatnya semakin menempel.

"Papa pulang." Suara Arya menyentak kebersamaan kami membuat Rio mendongak dan berjingkrak kegirangan. Bocah itu bahkan lupa sebelumnya tengah mengantuk berat. Suasana damai itu retak seketika bergejolak, untung ada Rio. Aku bisa sedikit menahan diri.

"Macet banget, ya, Mas ngambil mobilnya sampai selama ini," sindirku. Namun, tampaknya Mas Arya tak menghiraukannya karena setelah meletakkan kunci mobil, dia duduk di samping Rio dan membuka sesuatu, kue pukis.

"Wah, kue pukis janda kesayangan Papa," kataku.

"Pukis apa, Ma?" tanya Rio dengan ekspresi polos.

"Pukis janda kesayangan papa, Rio."

"Ra, kamu jangan ngomong yang aneh-aneh dong di depan Rio."

"Aneh gimana? Kan iya, itu pukis janda kesayangan kamu. Kamu selalu setia membeli kue itu setiap kali ke sana." Aku mendengkus kesal.

"Itu kan karena kamu dan Rio suka. Iya, nggak, Rio?"

"Halah alasan."

Tak bisa dipungkiri, Rio memang menyukainya. Lihat saja, dia sudah memangku stoples yang baru kuisi dengan kue itu.

"Udah kupanasin air, mandi tuh," kataku dengan nada yang masih sama juteknya.

"Wah ada angin apa ini, istriku tercinta masakin air anget buat mandi?" Arya menyentuh keningku yang refleks kutepis sekuat tenaga. "Iya, iya. Ntar malam aja, kan di kamar biar makin yahud."

Arya bergegas ke kamar mandi dengan girang sementara aku mengarahkan Rio mengerjakan PR sebelum tidur. Tugas mengajari Rio membaca hanya bisa kulakukan ketika libur, sementara Mbok Darmi terlalu tua dan sialnya tak bisa membaca. Progres membaca Rio cukup buruk. Namun, sekarang tak perlu khawatir karena telah menyewa pengasuh yang cukup muda, lulusan SMA dan kurasa dia mau mengajari Rio membaca ketika aku tengah bekerja.

"Wah, Rio udah makin pinter aja bacanya. Berhitungnya udah bisa?" tanyaku diiringi anggukan Rio aku menciumnya lagi dan berbisik kepadanya. "Rio hebat deh, Mama mau kasih Rio sesuatu karena Rio sudah belajar dengan sangat baik. Besok, kita akan liburan ke pantai Kuta, Rio mau?"

Rio hanya menatapku takjub, tetapi sepertinya bocah itu tak mengerti. Aku menjelaskan dengan membandingkan dengan pantai yang pernah kami kunjungi saat itu Rio langsung exited menyambut ide liburan yang dihadiahkan kepadanya karena prestasi Rio. Aku harus memastikan Rio tidur sebelum kembali ke kamar dan packing semua kebutuhan. Rencanaku, akan kuhabiskan jatah long weekend untuk refreshing sejenak ke Pulau Dewata. Membuang semua penat dan energi negatif di sana. 

Empat hari adalah waktu yang kumiliki dan itu lebih dari cukup buat healing di Kuta dan jalan-jalan di sekitarnya. Menginap di resort mewah, belanja, dan melakukan kegiatan menyenangkan di pantai.

Aku sudah menyiapkan tiga koper dengan dua koper besar dan satu koper anak. Aku sudah bolak balik mengambil pakaian dari kamar Rio kubawa ke sini, tetapi Arya belum keluar juga. Aku mencari-cari ponselnya dan mungkin dibawa karena aku tak menemukan di mana pun. Kumasukkan baju-baju Arya dan kebutuhannya yang ternyata memakan space koper cuma setengahnya dan sisa ruangan di koper Arya bisa kupakai untuk tempat make up yang super banyak. Aku sudah tidak sabar lagi menikmati udara segar di Bali dan hangatnya sinar matahari pagi di sana.

Ketika aku sedang memvisualisasikan es kelapa muda dengan sate lilit yang dimakan di tepi pantai, rasanya luar biasa sekali. Namun, sapaan Arya sangat mengagetkanku.

"Kamu lagi ngapain, Ra?"

"Hah?" Sesaat aku merasa loading bukan berarti aku tidak mendengar apa yang dia tanyakan, kemunculan Arya dari kamar mandi sangat tiba-tiba.

"Itu kamu masukin banyak baju ke koper mau ke mana?"

"Oh, ini. Kita akan ke Bali lusa."

"Eh, apa? Gimana maksudnya?"

"Kita akan berlibur ke Bali lusa. Dengerin dong kalo orang lagi ngomong."

"Ya, tapi kondisi kita lagi nggak memungkinkan kita buat berlibur, Ra. Lagian ini terlalu mendadak bakal ngaruh banget ke keuangan kita loh."

"Ya ampun, Mas mumpung long weekend deh. Aku dah liat beberapa bulan ke depan nggak ada jatah libur sepanjang ini. Lagian kita udah lama nggak liburan."

Arya menjatuhkan diri di atas ranjang dan menghela napas panjang.

"Minggir, dong Mas." Aku menarik baju yang dia timpa. "Sekali-kali nurut istri coba. Mas sih nggak pernah dengerin kajian. Kalo sesekali dengerin pasti tahu kalau kebahagiaan sebuah rumah tangga tergantung seberapa bahagia seorang istri. Giliran ke penjual pukis janda kesayangan Papa Mas nggak perlu mikir keluarin uang, tetapi menafkahi istri aja masih mikir dulu."

"Tuh, kan. Mulai lagi deh kamu, Ra. Perasaan aku salah mulu deh di mata kamu. Sudah berapa kali aku bilang nggak ada apa-apa sama mbak-mbak yang jualan kue pukisnya. Aku harus gimana lagi buat buktiin ke kamu."

"Ya udah ayo ke Bali."

"Ra ...."

"Mas ini kenapa sih menghabiskan waktu sama keluarga kesannya keberatan banget. Padahal aku udah pesen tiket pesawat, hotel dan booking pokoknya kamu enak tinggal keluarin uang buat jajannya aja karena hotel dan pesawat udah aku bayarin."

"Bukan begitu kamu sendiri keuangan kita nggak stabil malah pergi-pergi."

"Salah sendiri! Siapa suruh ganjen berujung PHK."

"Ra plis aku capek, kamu ungkit itu mulu."

"Mas pikir aku nggak capek? Aku capek jadi istri kamu tau nggak si aku harus ngehide temen-temen sosialita di sosmed biar gak ketriger mereka bisa ke luar negeri sesuka hati. Aku harus menurunkan kualitas branded barang-barang yang kupake. Aku cuma minta liburan ke Bali. Itu pun cuma empat hari nggak lebih."

"Ra, kumohon ngerti ya, kita lagi nyicil mobil, rumah, belum tagihan lain dan aku yakin kamu lebih paham perhitungannya daripada aku, jadi tunda sebentar ya keinginan kamu sampai keuangan kita sedikit membaik."

"Kamu tuh jadi suami pelit banget! Lagian kita pergi tuh pakai duitku, Mas. Duitku! Aku cuma mau kamu hadir buat Rio.

"Ini nggak ada hubungannya sama Rio nggak usah mencari-cari alasanlah."

"Loh, nggak ada hubungan ginana? Rio itu tanggung jawab kita. Sejak pindah kita belum ke mana-mana, kasihan Rio Mas dia pasti diledekin temen-temennya."

"Susah ya ngomong sama kamu. Ya, udahlah terserah kamu."

_____

Hai, teman-teman, Amyra hadir lagi Senin ini. Maaf minggu lalu tidak bisa update //maklum mood setter nulis berdasar mood dan minggu kemarin cukup berat. Thanks udah mampir ke cerita ini. See you~

Is There a Second Chance for Us?Where stories live. Discover now