6.) Panggilan Darurat

66 17 4
                                    

Di ujung hari yang sibuk, sebagai seorang banker aku masih harus menyelesaikan tugas-tugas terakhir sebelum bank tutup. Aku memastikan tim mengerjakan segala sesuatunya dengan cermat ketika menyusun laporan harian. Aku juga akan memastikan setiap detail tercatat dengan akurat untuk keperluan pelaporan dan audit. Tak lupa juga memastikan bahwa saldo kas sesuai dan semua dokumen dan sudah tersusun rapi. Setelah mengaktifkan semua sistem pengaman, aku dan rekan-rekan keluar bank dengan lega dan lelah seperti biasa. Jam kerja hari ini tak ada yang berubah, sama aja. Namun, entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa jauh lebih letih.

Bagaimana tidak, aku harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk hal yang tidak perlu, ganti rugi kepada Asha atas kecerobohan Rio. Sebenarnya, wanita itu tidak masalah dengan hal itu. Meski awalnya syok sejenak, melihat reaksi Rio dia justru memeluknya dan berkata tidak apa-apa.

Apanya yang tidak apa-apa? Mau ditaruh di mana mukaku kalau masalah sesepele ini saja tidak diatasi dengan baik. Gengsi dong malah kabur tidak bertanggung jawab. Aku memutuskan akan tetap menggantinya. Tentu saja hasilnya sudah diduga. Arya tak akan bisa membantuku dan pengeluaran dadakan itu memporak-porandakan keuangan rumah tangga kami.

Aku melihat debu-debu menempel di kaca mobil, kucolek dan mendesah setelahnya. Akhir pekan ini sepertinya tak ada waktu lagi untuk mencuci mobil ini. Kulihat jam tangan sebelum memutuskan mampir ke tempat cuci mobil. Baguslah, tak terlalu antre. Selagi menunggu, aku membeli kopi di stand yang berdiri tepat di sebelahnya. Sialnya, seakan semesta tak mengizinkanku bersantai-santai saja.

Dering ponsel yang sudah kuabaikan berkali-kali membuatku gusar. Kuangkat telepon itu dengan nada jengkel.

"Ya, halo." Aku mendengarkan seksama suara di seberang sambungan telepon. "Bapak belum pulang?"

Aku mengembuskan napas kasar sebelum berkata, "Coba kamu telepon bapak sekali lagi ya mungkin lagi kerja di sekitaran situ. Aku lagi nanggung banget belum bisa pulang sekarang. Nanti kabari aku lagi ya."

"Hem, oke," kataku menutup panggilan. Refleks kulirik jam di tanganku dan memindai mobil hitam yang tengah dicuci. "Kayaknya nggak bakalan keburu kalau nunggu mobil selesai."

Suara klakson menyentakku, aku hampir meledak, tetapi kuurungkan mengingat yang datang adalah Arganara. Dia selalu bisa diandalkan dan datang di waktu yang tepat.

"Sori, ya bikin kaget." Dia tersenyum ramah. "Lagi butuh tumpangan?"

"Kamu kok ada di sini?"

"Aku beli beberapa camilan di sekitar sini, terus liat kamu kayak lagi gusar gitu. Butuh bantuan?"

"Sebenarnya butuh, sih, cuma abis ini kamu mau ke mana? Ntar aku ganggu kamu lagi."

"Nggak ganggu kok, malah aku akan ngerasa bersalah banget biarin kamu dalam kesusahan padahal kemarin-kemarin udah bantuin aku sampai pencairan dana berjalan lancar. Jadi, apa yang bisa kubantu, nih?"

Dengan ragu-ragu kuceritakan apa yang terjadi di rumah. Bagaimana pun juga keadaan Rio yang sakit gigi pasti membuat putra semata wayangnya tidak nyaman dan merintih seharian. Aku tak bisa membayangkan hal itu sama sekali. Keputusan menerima tawarannya sepertinya bukan hal yang buruk. Meski kesal kepada Rio, tetap saja aku tidak mau Rio merasa kesakitan.

Kuamati wajah Arya ketika dia berkendara, dia tetap menyimak obrolanku selagi menyetir. Sesekali dia mengangguk meresponsku, kadang dia menoleh lalu tersenyum.

"Ke IGD jam segini biasanya sudah tidak ada dokter jaga, artinya kalian harus menginap dan akan bertemu dokter gigi keesokan harinya. Perjalanan jam segini terpantau macet jam pulang kantor. Aku bukan dokter gigi, tetapi aku bisa melakukan pertolongan pertama terhadap Rio agar dia tidak kesakitan terlalu lama. Nanti ketika obat yang kuresepkan habis dan Rio masih sakit-sakitan giginya, kamu bisa membawanya ke spesialis gigi untuk pemeriksaan lebih lanjut."

"Ya, itu lebih baik."

Tak terasa perjalanan kami berakhir juga, Arga memarkirkan mobilnya di bahu jalan sebelum dia masuk bersama tas kerja yang berisi beberapa alat medis.

"Ayo, Ga. Silakan masuk ke gubuk sederhanaku." Aku mengatakannya dengan perasaan teriris. "Silakan duduk dulu, Ga. Aku siapin minum, ya."

"Nggak usah ngerepotin deh, Ra. Abis periksa Rio, aku mau langsung balik."

"Nggak repot, kok. Aku bikinin dulu, ya. Masih suka kopi item?" Tanpa menunggu jawaban, aku melenggang ke dapur meracik secangkir kopi setelah meminta ART mereka membawa Rio ke depan menemui Arga. Bocah itu mengerut dipelukan pengasuhnya.

Ketika aku selesai dengan kopi yang kubuat, dadaku terasa hangat saat melihat interaksi Rio dengan Arga. Entah bagaimana ceritanya, Rio sudah bertengger manis di pangkuan lelaki itu, seperti anak dan ayahnya. Belum lagi sesekali mereka tertawa.

"Loh, sudah selesai?" tanyaku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

"Giginya berlubang, aku sudah mengambil sisa makanan yang tersangkut. Malam ini Rio bisa tidur dengan mengonsumsi pereda nyeri, tetapi besok bawa dia ke dokter gigi untuk mendapat perawatan yang tepat mengingat usianya baru lima tahun."

"Ah, begitu. Baik. Makasih banyak ya, Ga. Kalau nggak ada kamu aku nggak tau lagi bakal gimana."

"Nggak masalah. Ra, aku harus balik sekarang deh, lain kali aku mampir lagi. Makasih kopinya ya."

Arga hanya menyeruput sedikit sebelum pergi meninggalkan aku dan Rio. Aku mengikutinya sampai gerbang dengan membopong Rio yang ternyata tertidur di ceruk leherku entah sejak kapan. Aku mengantar Arga sampai mobil itu tak terlihat lagi. Namun, ketika aku akan masuk rumah, deru mobil berhenti di sebelah. Aku berbalik mengintip celah pagar, rumah sebelah jarang sekali kedatangan tamu, jadi membuatku penasaran. Apa pekerjaan wanita itu benar desain interior seperti yang dia ceritakan?

Aku terkejut ketika mobil yang mengantarnya adalah mobil suamiku. Tentu saja itu tak membuat heran mengingat pekerjaannya sekarang. Namun, yang membuatku berkerut adalah saat melihat keakraban saat Asha turun dari mobil. Mas Arya sudah mengenalnya?

✨✨✨

Is There a Second Chance for Us?Where stories live. Discover now