4.) Nggak Usah Baper!

64 18 11
                                    

Hubungan ranjang suami-istri seperti terlupakan, entah kapan kali terakhir aku dan Arya melakukannya. Tempat berpulang dan menyatu itu menjadi dingin, kami tidur saling memunggungi enggan bertatap muka. Wajah Arya sangat memuakkan. Badannya yang dulu sangat proporsional kini tak semenarik dulu. Bahkan sekarang kalah jauh dari Arga. Ada yang lebih mengusik daripada perubahan fisik suamiku, perubahan isi dompetnya. Sialan, sejak kena PHK aku harus banting tulang sendirian. Mending kalau dia becus mengurus rumah dan Rio. Kasihan sekali anak itu semakin kurus sebulan sejak diurus ayahnya.

Makanan yang masuk ke perutnya pasti sembarangan. Aku mengembuskan napas dengan kasar, kali ini dengan terpaksa aku berbalik. Mataku tertuju pada punggung bidang yang mulus. Kulitnya cerah dengan dua tahi lalat bertengger di bahu itu. Tangan berlemak itu dulu selalu merengkuhku dengan penuh ... nafsu? Apa pun itu lengan itu pernah memberiku rasa nyaman. Tiba-tiba aku merasa mendengar cekikikan manja, itu suaraku. Aku merindukan momen itu. Wajahku terasa hangat, pipiku memanas, apa wajahku memerah sekarang? Kutepuk-tepuk pipiku perlahan ternyata mengeluarkan bunyi. Aku terkesiap Arya menoleh dan membeku.

Aku yang terkesiap refleks menarik selimut tebal menyembunyikan sebagian wajahku. Kurasakan kasur berdenyut akibat pergerakan yang besar, Arya berbalik dan menghadapku sekarang. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Tak ada apa pun yang terjadi, kurasa dahiku berkerut ketika mencoba mengintip. Rasanya jantungku melesak jatuh melihatnya ... menatapku? Tanpa berkedip. Itu lebih mengerikan mengetahui dirinya sudah melakukan kesalahan fatal berupa perselingkuhan.

"Kamu mau, Sayang?"

Bisakah dia diam saja? Menghancurkan imajinasiku saja! Arya tuh lebih cakep kalau diam. wajahnya polos, ganteng, dan baik. Mengucapkan sesuatu membuatku berpikir dia mengucapkan itu kepada cewek lain di luaran sana. Suhu kamar terasa panas apalagi dengan tubuhku yang terbungkus selimut tebal. Aku berdeham karena posisi Arya mengunciku. Dia setengah duduk memosisikanku tepat berada di bawah keteknya sementara dia memandangiku seakan setahun tak bertemu.

"Kamu keringetan, Sayang. Aku bantu buka selimutnya ya?"

Aku mendelik mengikuti pergerakan tangan Arya yang tak berniat menyingkirkan selimut itu, tetapi meyusup ke dalamnya. Ketika tangannya berhenti bergerak di atas lingerie berenda yang kukenakan, aku menepis tangannya dan duduk menyamakan posisi dengan Arya. Kuraih remote pendingin ruangan dan mengatur suhu sesuai dengan suasana yang aku inginkan. Arya yang bertelanjang dada menarik selimutnya lebih tinggi.

"Nggak usah macam-macam, Mas."

"Ra, kok kamu gitu sih. Aku masih suamimu dan aku berhak--"

"Aku punya hal yang lebih bagus untuk dibicarakan selain mengurusi selangkanganmu itu, Mas."

Wajah Arya memberengut, pasti dia punya firasat buruk.

"Jadi begini, aku punya solusi sementara yang cukup menjanjikan daripada kamu kluntang-klantung nggak jelas." Aku memulai dengan antusias. Aku menautkan rambutku yang menjuntai ke telinga kemudian melanjutkan. "Daripada di rumah juga nggak berguna kan? Kamu nggak bisa masak, nggak bisa beres-beres, bahkan pas kamu nyoba nyuci baju masih ada detergen menempel di mana-mana. Belum lagi kamu membakar satu seragamku saat menyetrika baju."

"Kamu mau ngomong apa sih, Ra."

"Kamu ini kan nggak berguna di rumah, benar kan? Daripada begitu terus sampai kurus, mending buat dirimu berguna." Aku menggeser tubuhku mengambil ponsel Arya di nakas, ketika tubuhku menyentuh dadanya, dia mendekapku. Menghidu bau tubuhku dan aku membeku ketika napasnya mengalir hangat di leherku. Aku berdeham agar Arya tak hanyut dalam mimpi.

Dia mendengkus, dapat kulihat wajahnya yang jengkel membuat Arya terlihat lebih tua.

"Mau ngecek apa sih Ra? Nggak ada apa-apa juga di ponsel toh kamu mematikan Wifi rumah pas pergi. Sudah kubilang Candy cuma kekhilafan."

"Aku nggak peduli apa itu Candy yang kamu bicarakan, Mas."

Aku terus mengetik di ponsel sesekali kulengkapi data-data dengan mengecek deretan angka di kartu identitas. Setelah memastikan semua selesai dan terverifikasi, aku menyerahkan ponsel itu dan berkata, "Mulai besok kamu sudah bisa bekerja."

Sesaat wajah Arya berbinar kegirangan sebelum menyadari kerja yang dimaksud adalah menjadi seorang driver taksi online. Air muka Arya berubah kecut sementara aku berusaha keras agar tak terpingkal-pingkal melihat ekspresi konyolnya itu. Aku ingat benar masa-masa kami pergi bersama.

Ya, ketika Arya masih meluangkan sebagian waktunya, kami memang sering bersama. Arya akan mengajakku jalan setiap akhir pekan. Kadang tak peduli dia lelah, Arya bahkan sering memilih naik taksi online pada Sabtu sore agar kami bisa memaksimalkan momen bersama yang berkualitas. Saat itu Rio masih batita, dia akan sangat aktif ketika berada di kendaraan. Selain memang Arya yang kelelahan bekerja dan menyetir, dia selalu mengambil peran dalam mengasuh Rio selama perjalanan. Sering kali dia mengumpati sang driver jika tiba-tiba mobil yang mereka tumpangi berhenti mendadak karena Rio akan menangis keras-keras.

Mungkin ... Arya mengingat momen itu dan mencoba memosisikan diri di titik itu?

"Kamu setuju kan, Mas?" tanyaku.

"Memangnya aku punya pilihan, Sayang?"

"Nggak ada."

Aku kembali tidur memunggunginya seperti biasa.

***

Libur selalu menjadi momen yang menyenangkan bagiku. Selain bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Rio, aku bisa melakukan recharge energi semacam detox dari manusia. Interaksiku dengan banyak orang di bank selama weekday sangat menguras dayaku. Aku memilih akan memasak untuk Rio hari ini, aku tak sanggup membawanya bepergian lagi. Namun, ketika aku membuka kulkas, lemari es itu benar-benar kosong. Hanya menyisakan beberapa helai daun bawang. Aku malah terkekeh sampai bersuara, pantas saja Arya selalu mengeluh kulkasnya kosong. Aku tak mengira akan sekosong ini. Ya, belakangan aku nyaris tak membuka kulkas. Semua kebutuhan perutku selalu diisi makanan yang dibeli secara daring. Aku bahkan sudah menjadwalkan makanan untuk beberapa waktu ke depan.

Waktu menunjukkan pukul enam pagi, kesibukan di kompleks mulai terlihat. Terutama para tetangga yang mulai menyemut mengerubungi abang tukang sayur. Aku pun mendekat dengan canggung. Ketika pagar berkarat kubuka, seseorang berparas menawan menyapaku. Aku refleks menampilkan senyum selamat datang dan menyambut obrolan ringannya, meski tak ingin.

"Tetangga baru, ya?" sapanya. Aku tersenyum canggung empat bulan tidak bisa disebut baru. Namun, dia menunjuk sebuah rumah yang kuketahui selama ini tak dihuni. Kemudian dia bercerita, "Aku penghuni rumah sebelah. Aku baru pulang dari luar kota. Salam kenal namaku Asha."

"Hai, Asha. Aku Amyra. Senang berkenalan denganmu."

"Mau beli apa nih, Mbak," lanjutnya setelah memindaiku dari atas ke bawah sampai mata kami kembali bertemu. Dia tersenyum. Manis sekali. Senyum ramah yang enak dipandang, tetapi entah kenapa aku merasa tidak suka dengan Asha.

***

Hai teman-teman, gimana kabarnya nih? Semoga sehat selalu yaaa ....
Alhamdulillah masih konsisten nih dah sampai bab ini adakah yang mulai gemas?

@brinabear88 semangat buat nulis bab selanjutnyaaa~

Oiya aku juga ada cerita baru yang hanya tayang di TikTok AhyaBee genrenya teen. Kamu bisa baca Masked Memories di sana ya.

Purbalingga, 26 Februari 2024

Is There a Second Chance for Us?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora