Episode 02: Anak Panah, Doa, dan Surga

Mulai dari awal
                                    

"Gimana, Mas? Ada?" tanya Azmi pada petugas tersebut setelah keluar dari ruang office.

Petugas itu menggeleng. "Ndak ada, Mas. Saya juga telepon sama temen yang ship kemaren, katanya nggak ada buka-buka loker."

Azmi mengernyit heran. "Serius, Mas?"

"Nggih, Mas. Ndak ada."

Wajah Azmi tertunduk pasrah, tak tahu harus apa. "Gimana, Mas? Ketemu?" Yossy menghampiri Azmi ke tempat loker.

Azmi menoleh ke sumber suara, lalu menggeleng tanpa menjawab pertanyaan Yossy. "Atau gini aja, Mas ..," Petugas itu angkat bicara setelah melihat ekspresi Azmi yang begitu merasakan kehilang karena sebuah sorban. "Mas tinggalkan saja nomor telepon. Nanti saya coba tanyakan juga ke petugas-petugas lain, mungkin saja tercecer di suatu tempat di gedung ini, Mas."

"Nggih, nggih, Mas," dijawab Azmi dengan semangat. "Matur nuwun, Mas. Tolong yaaa, Mas."

Ia pun menitipkan nomornya pada petugas tersebut dan berharap sorban kesayangannya ditemukan secepat mungkin. Azmi sungguh merasakan kehilangan sesuatu yang berharga miliknya, sebuah pemberian yang sangat berkesan dari orang terkasih, Kyai Akhyar. Bagaimanapun, Azmi sangat menghargai pemberian dari orang lain, sekecil apa pun itu. Lebih baik ia kehilangan barang yang ia beli dari tangannya sendiri ketimbang kehilangan barang pemberian orang lain. Bukan persoalan seberapa tinggi harganya, jika itu adalah pemberian seseorang, maka harganya tidak akan pernah ternilai dengan nominal.

"Terus? Ini nggak jadi balik Blitar?" tanya Yossy saat mereka kembali ke parkiran.

Azmi menggeleng dengan wajah cemberutnya. "Batal, Ommm. Sorban Azmi harus ketemu pokoknya."

Yossy menyipitkan mata ke Azmi. "Azmi ... Azmi ... lagi-lagi kamu berulah. Makanya barang tuh dijaga, Dek."

"Nggih, Ommm."

"Ya udah izin dulu sama Umi kamu lagi, takutnya dia udah nungguin loh."

Azmi merogoh handphone-nya dari kantong baju, lalu menghubungi uminya untuk menjelaskan semuanya. Pagi itu, Azmi gagal pulang ke Blitar oleh karena sorban kesayangannya masih dalam pencarian. Besar harapan Azmi, sorbannya hanya tercecer di gedung pemanah itu, dan tidak benar-benar hilang. Dari barang pemberian Kyai saja ia merasa sangat kehilangan, apalagi kehilangan orang-orang yang ia sayangi? Sudah pasti tak kuat ia menahan kepedihan. Membayangkannya saja Azmi tak sanggup, meski pada akhirnya suatu hari semua yang bernyawa akan merasakan mati.

***

Azmi terus saja kepikiran dengan sorbannya, ia belum juga mendapatkan kabar terkini dari petugas. Kembali ke rumah Yossy, bukannya menenangkan diri, ia justru terus saja mengingat-ingat di mana terakhir sorban tersebut melingkar di lehernya, dan yang ia ingat betul adalah saat meletakkannya ke dalam loker.

Namun sebelum ia mengunci pintu loker, Azmi sempat menengok ke salah seorang pemanah yang lebih tua darinya, yang juga sedang meletakkan barang-barangnya ke dalam loker. Alihnya terfokus ke orang tersebut yang perawakan sampai perlengkapan memanahnya sudah seperti atlet yang akan ikut olimpiade. Azmi terus memandangnya saat itu, seperti orang yang sangat kagum dengan seorang ahli olahraga memanah, salah satu jenis senjata perang yang disunnahkan oleh Rasulullah untuk setiap umatnya mempelajarinya.

Bola mata Azmi kemudian membelalak saat ia mulai tersadar penuh dan mengingat momen saat sebelum ia menutup kembali pintu loker, ia tidak begitu yakin sorbannya ada di dalam karena saat itu angin tiba-tiba berembus kencang dan ia langsung mengunci loker tanpa memastikan sorbannya terlebih dulu.

"Om Yossyyyy," teriak Azmi dari dalam kamar.

Azmi pun langsung bangkit dari tempat tidur dan meminta kembali Yossy untuk mengantarnya ke tempat latihan memanah, sekarang juga.

Sang PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang