3. Anak biasa?

73 2 0
                                    

Bel berdering, aku terbangun dari lamunanku, teman sekelas menyandang tas untuk kembali ke rumah masing-masing. Aku menatap kosong ke arah langit-langit kelas dan mengingat hal yang disampaikan oleh Bu Mona di ruang BK.

Dengan langkah yang terasa berat, aku keluar dari kelas untuk kembali ke rumah. Matahari berada lurus dari atas kepala, suara Cicadas terdengar diantara pepohonan, dengan wajah cemas, aku menghadap ke pematangan sawah di jalan pulang, ku perhatikan para petani sedang berteduh di pondok di tengah-tengah sawah nan hijau yang telah ditumbuhi padi. Aku bergumam pelan "ada apa denganku, aku hanya susah diajarkan, bukan berarti aku tidak bisa apapun", sembari mengusap mata, aku memantapkan tekad dan menunggu konsekuensi kedepannya.

Tangan bergetar dan jantung berdegup kencang, ku beranikan untuk membuka pintu rumah, ku ucapkan salam secara pelan dan melihat ke dalam sekeliling rumah, tidak ada siapapun di rumah siang itu. Aku menghela nafas dan sedikit bersyukur, lalu bergegas ke kamar. Laba-laba itu masih berada di sekitaran jaringnya, aku terkagum betapa hebatnya hewan itu, hewan kecil, tetapi dapat menghasilkan hal besar. Mataku tertegun melihat serangga yang menempel pada jaring itu, ternyata jaring tersebut bukan hanya rumah, tetapi juga perangkap!, bagaimana mungkin hewan yang dianggap remeh dapat mencari mangsa dengan cara sepintar itu.

Helaan nafas panjang keluar dari mulutku, seketika ku keluarkan buku dari tas yang penuh jahitan itu, Alphabet A hingga Z telah ku tulis di sebuah buku nan usang. Tangan bergerak mengikuti pikiran, tanpa salinan, ku beranikan diri untuk menulis alphabet lainnya, sayangnya, huruf b dan d masih sulit ku bedakan, begitu juga huruf q dan p.

Aku melamun sejenak ,ejekan yang disampaikan orang lain terlintas di benakku, ejekan itu benar adanya "Bagaimana mungkin anak dengan usia belasan tahun belum dapat membaca dan berhitung layaknya kebanyakan orang?". Dengan perasaan sedih aku menjauhkan pikiran negatif itu, dan perlahan aku mulai tertidur di dekat meja kayu.

Adzan berkumandang, seketika aku terbangun dari tidur, udara sore itu terasa lembab, dan suhu sejuk memenuhi kamar, ku pandangi keluar jendela, sang surya telah terbenam meninggalkan ufuk awan yang berdiam diri. Langit bewarna jingga cerah, burung-burung berterbangan secara berkelompok dengan riangnya.

Tercium aroma sedap dari arah dapur, ku beranikan keluar kamar, terlihat ibu sedang memasak di dapur kecil yang terbuat dari kayu. "Ibu" ku panggil ibu dengan pelan. Ibu melirik ke arahku sambil tersenyum, ku lanjutkan bicara "Maaf Bu, tadi aku dipanggil ke ruang BK" ujarku pelan.

Ku lihat raut wajah ibu terkejut, tetapi beliau mencoba untuk bersikap tenang "nanti kita bicarakan ya nak, sekarang ibu masak dahulu".

Jantung berdegup makin kencang, layaknya menunggu hukuman dari langit, ku coba menenangkan diri dengan mencubit tanganku, sayangnya, itu tidak bekerja. Helaan nafas keluar dari mulut untuk menenangkan diri.

Terdengar suara motor dari luar rumah, itu ayah!. Sekarang, rasa gugup yang memenuhi diriku kian memuncak, ku serahkan semuanya kepada yang maha kuasa. Mata terpejam dan berdoa kepada Allah agar suasana di rumah tidak memburuk. Tangan menjulur dan ku salami ayah, wajah pria tua itu telah dipenuhi oleh debu dan sedikit lumpur. Ayah tersenyum, ku urungkan niat untuk berbicara kepada ayah, hingga waktu yang tepat.

Bulan mulai muncul, malam sangat dingin hingga memerlukan jaket tebal untuk menghangatkan badan, teh beserta kopi telah disuguhkan ibu di ruang tamu, malam itu terasa tenang, canda tawa memenuhi seisi rumah.

"Ayah, ibu". ucapku gugup.

Dengan senyum lembut ibu memperhatikan ku, terlihat pandangan mata ayah penuh dengan penasaran. "Kenapa Geta?". Tanya ayah.

Ku beranikan berbicara kepada orang tua yang telah membesarkanku "Maaf ibu dan ayah, hari ini, aku dipanggil ke ruang BK, guru BK di sekolah ku. Bu Mona, meminta agar aku memberitahukan kepada ayah dan ibu untuk datang ke sekolah esok hari, untuk menemui Bu Mona"

Seketika, suara canda tawa yang sebelumnya seakan pergi dari ruangan itu, terlihat wajah ayah dan ibu tidak begitu terkejut mengetahui hal ini. "Baiklah nak, jika sekolah meminta kami untuk pergi ke sekolahmu, tentu kami harus kesana", balas ibu sambil tersenyum.

Seluruh badan kembali tenang, pikiran kosong begitu saja tanpa beban, teh hangat diminum dengan pelannya, menikmati rasa teh yang dipetik dari perkebunan teh Pohon Ara. Ku pandangi wajah ayah dan ibu yang sedang bersenda gurau, tangan bergerak begitu saja untuk memijat bahu kedua orang tua yang lelah itu. Bahu keduanya sangat keras, seakan memikul beban hidup yang begitu beratnya.

Di kamar yang kecil itu, buku tulis nan usang terletak di atas meja yang lapuk, ku tulis kembali huruf abjad dan kata sederhana.

Angin bertiup melewati sela-sela kamar yang terbuat dari kayu yang terlihat akan roboh jika kau berlari kencang diatasnya. Aku terbangun setengah sadar sembari menguap kecil, dengan pelan melangkahkan kaki ke kamar mandi agar tidak membangunkan seisi rumah. Suara hujan sangat tenang jatuh ke atap rumah yang terbuat dari seng, air dingin di pagi itu ku basuh muka yang setengah sadar untuk membangkitkan kembali fokus ku.

Terdengar ayam berkokok, dan burung berkicau. Pada pagi yang dingin itu, ku tenangkan diri "Semua akan baik-baik saja". Terlihat sarapan telah disiapkan ibu di atas tikar rotan yang penuh lobang , dengan pelan kami menyantap sarapan yang sangat sederhana.

Ibu berbicara dengan nada lembut "Nak, tidak apakah ibu dan ayah datang agak siang ke sekolahmu?", tanya ibu.

Aku termenung sejenak "Tidak apa Bu, bagaimanapun ibu dan ayah juga masih ada pekerjaan yang harus dilakukan, akan ku sampaikan kepada guru jikalau guru bertanya", ucapku.

"Baiklah nak, jangan jadikan hal ini memberatkan hatimu, ibu perhatikan, kau memiliki niat belajar yang kuat", ujar ibu untuk memberikan semangat.

Aku tersenyum "terimakasih ibu, mungkin itu yang bisa kulakukan untuk saat ini", jawabku.

Ayah memandangiku dengan wajah tegas "Geta, perlu kau ingat, meskipun kau belum dapat membaca dan berhitung layaknya anak yang seusia denganmu, kau harus tetap yakin dan berusaha, bagaimanapun belajar lah di saat usiamu masih muda", ucap ayahku dengan tegas.

"Tentu saja ayah, bagaimanapun aku dibesarkan oleh kedua orang tua yang selalu bersyukur", balasku.

Kami tertawa pagi itu, gelak tawa kembali ke rumah, sungguh pagi yang menenangkan.

Ku salami kedua orang tua seraya berangkat menuju sekolah, ku tatap kedua mata yang sayu itu, terlihat mata penuh harapan kepada anak yang tidak mengerti apapun.

GetaKde žijí příběhy. Začni objevovat