Bab 2 - Sampai ke pelosok

Mulai dari awal
                                    

.
.
.
.

Jarak ke terminal dari halte bus tidaklah jauh, sekitar tujuh ratus meter saja. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sejujurnya itu tidak terlihat seperti terminal, hanya sebuah bengkel bus tempat dimana bus beristirahat setelah seharian berkeliling.

"Waah Qiren, kau menculik anak orang?". Tanya seorang pria paruh baya bertubuh gempal yang tengah duduk di kursi plastik dengan sebuah kipas lipat di tangannya.

"Aku tidak menculiknya. Anak muda ini sepertinya ketiduran di bus tadi sampai haltenya terlewati". Jawab si sopir bus yang bersama Wang Yibo itu, kini Yibo tahu pria paruh baya berjenggot lebat itu bernama Qiren.

"Nak, itu temanku. Dia seorang mekanik, namanya Rouhan". Ujar sopir bus atau pak Qiren itu memperkenalkan temannya kepada Wang Yibo.

"Halo, saya Wang Yibo". Pemuda itu membungkuk memperkenalkan dirinya, pak Rouhan tersenyum.

"Ayo masuk, kita bicara di dalam. Apa kau lapar nak?". Tanya pak Rouhan, malu-malu Yibo mengangguk karena perutnya terlanjur berbunyi, kedua pria paruh baya itu tertawa mendengarnya.

.
.
.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Di sebuah meja kecil, ketiga pria dengan fisik yang berbeda itu tengah menyantap mie instan dari panci yang masih mengepulkan uapnya. Semasa hidupnya, untuk pertama kalinya Wang Yibo memakan mie instan, dan rasanya tidak buruk juga.

"Jadi, kau tidak tahu tujuanmu?". Tanya pak Rouhan kepada Wang Yibo, memang sebelumnya pemuda itu sempat menjelaskan bahwa dirinya panik bukan karena haltenya terlewati, tapi dirinya kaget karena sampai di tempat terpencil.

"Memangnya kau darimana?". Tanya pak Rouhan lagi, sementara pak Qiren tidak membuka suara. Ia menikmati mie instannya dalam diam.

"Beijing". Jawab Wang Yibo singkat, sontak pak Rouhan melotot.

"Astaga nak itu sangat jauh. Tahukah kau bahwa saat ini kau ada di pinggiran negara". Seru pak Rouhan, Wang Yibo menggeleng pelan.

Mie di panci itu tandas, tanpa menyisakan kuah sedikitpun. Pak Rouhan kemudian membereskan bekas makan mereka.

"Jadi, setelah ini kau mau kemana?". Tanya Pak Qiren kepada Wang Yibo, pemuda itu terdiam lumayan lama alih-alih langsung menjawab.

"Atau kau mau kembali ke Beijing? Besok ikut denganku kalau begitu". Wang Yibo menggeleng dengan ribut. Dirinya tidak mau kembali ke kota terlarang itu, sudah jauh-jauh sampai di pelosok demi melarikan diri dari sang ayah masa menghampirinya lagi?

"Lalu kau mau bagaimana? Dengar nak, kau masih muda. Bugar dan sehat, jangan menyia-nyiakan berkah dewa". Tanya pak Qiren lagi.

"Apa di sekitar sini ada pemukiman?". Tanya Wang Yibo balik.

"Ada, tidak jauh dari sini ada sebuah desa, namanya desa Wangxian". Sahut pak Rouhan tiba-tiba, pria itu kembali dari dapur dengan membawa nampan berisi tiga gelas teh hangat.

"Ah, aku baru ingat. Temanku kepala desa disana, sebentar akan ku telpon orangnya". Ujar pak Qiren sembari mengeluarkan ponsel genggam miliknya lalu men-dial salah satu kontak di sana.

Tuuuut~

Panggilan tersambung, pak Qiren menekan tombol loudspeaker. Sehingga semuanya dapat mendengarkan.

"Halo Qiren ada apa?".

"Halo Yifan, maaf mengganggu waktu istirahatmu".

"Hahaha, santai saja Qiren".

Pak Qiren ikut tertawa begitu tawa sang teman dari speaker ponselnya menggelegar memenuhi ruangan kecil itu. Begitupun pak Rouhan, sedangkan Wang Yibo hanya tersenyum tipis.

"Sebenarnya aku menelpon mu karena ada perlu". Ujar pak Qiren.

"Apa itu?"

"Seorang anak muda yang tidak tahu mau kemana bersamaku saat ini. Tadi anak ini tertidur di bus dan kubawa saja ke terminal".

"Hah?".

Suara di sebrang sana terdengar tengah kebingungan.

"Jadi, anak muda ini bilang dirinya perantau yang sedang mencari pengalaman kerja. Kudengar kemarin kau membutuhkan orang untuk membantu mu Yifan". Jelas Qiren panjang lebar.

Wang Yibo tersenyum tipis mendengar kebohongan pria paruh baya itu, sedangkan pria itu sibuk saling melempar wink dengan sang teman.

"Oh ternyata begitu. Yasudah, kau berikan saja alamatku. Akan ku jemput dia besok di gerbang desa, hahahaha".

"Kalau begitu aku ucapkan terimakasih. Kau tahu, anak ini mengingatkan ku pada mendiang keponakanku".

"Aku tahu Qiren, aku tahu. Kau tenang saja, biarkan keponakanmu beristirahat dengan tenang. Kalau begitu aku tutup telponnya, ku tunggu anak itu di gerbang desa besok pagi".

"Baik Yifan, sekali lagi terimakasih".

"Sama-sama Qiren".

Tuuutt.

Panggilan itu kemudian berakhir, pak Qiren tersenyum lebar.

"Nak, subuh nanti aku akan mengantarmu ke desa Wangxian. Kau akan tinggal bersama temanku yang bernama Yifan di sana. Hiduplah dengan baik". Ujar pak Qiren dengan mata yang berkaca-kaca.

Wang Yibo menghambur ke pelukan pria paruh baya itu. "Terimakasih pak, terimakasih banyak". Pak Rouhan tersenyum haru menyaksikannya.

 Pak Rouhan tersenyum haru menyaksikannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


.
.
.

TBC

Baru permulaan, tapi udah ngabrut 😭

Intinya jangan berharap lebih untuk book ini 😭👍

Semangat untuk puasanya guys 🤗🥰

#kapalselamantikaram

Ban,2024.

Ineffable - Indescribable [YiZhan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang