56 : Undiscovered Island

509 142 12
                                    

Ombak menggempur. Langit bergemuruh. Rintik hujan jatuh mengenai kulit, tajam rasanya. Tatkala titik koordinat semakin dekat, para awak kapal setia memantau dari kejauhan. Yang perlahan-lahan jaraknya terkikis, rasa penasaran mereka tak jua menipis.

Basah kepala Arienne terkena hujan. Ia meninjit di ujung geladak, menyipitkan matanya. Sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.

Matanya mencari-cari di mana posisi pulau itu berada. Namun, tidak ada daratan sama sekali. Ataupun bayangan yang diselimuti kabut, setidaknya ada tanda-tanda. Tapi tidak. Maka Arienne menoleh pada Juward.

Mengernyit, navigator menerawangi kertas yang ia gambar. Tidak ada apa-apa di sana. Juward pun mengulum bibirnya, tak mungkin ia salah.

Jake di atas, berpegangan dengan tali layar. Menyidik permukaan lautan, tidak terlalu spesifik karena hujan, pandangannya kurang jelas. Ia pun menyadari sesuatu, setelah memakai teropong.

"Coba berputar mengelilingi daerah itu!" sahut Jake. Arienne menoleh, mengangguk, lanjut memperhatikan ke depan.

Semakin deras hujan, semakin bergejolak ombak yang mendorong kapal mereka ke sembarang arah. Rosemary berpegangan kuat di sisi geladak. Kakinya terciprat ombak, seolah berusaha menyeretnya ke lautan.

Bulan berada di puncak, mengintip dari satu-dua awan yang mengawalnya. Apakah mereka akan berhasil? Apa akhirnya dirinya akan pulang dan bertemu ayahnya di sana?

Juward memutar kemudi. Ethan dan Jake mempertahankan layar kapal dari angin yang begitu kencang. Tampaknya badai mencoba menghalau mereka.

Arienne memukul kapal, menyita perhatian. "Perhatikan layarnya!"

"Pierre, awasi kapal dari ombak!" seru Arienne. Pierre mengangguk, bersedia di belakang kapal, mencegah ombak yang hendak melahap mereka.

"North, jaga bagian depan!" Hujan mulai semakin deras. North yang helai rambutnya jatuh basah, berjalan cepat mengikuti perintah sang kapten.

"Carsein, bantu aku memastikan keberadaan pulaunya! Kurang jelas karena hujan!" Arienne mengajak Carsein. Naga kecil di atas kepala Carsein mulai mengepakkan sayapnya, menuju permukaan kosong tanpa daratan itu. Mata Carsein menyala ungu.

Sementara Rosemary dan Minerva berpegangan di tiang-tiang kapal. Bersedia membantu hal-hal lain bila diperlukan.

Juward di tempat kemudi memegang erat stir. Memutari titik koordinat. Tidak terlihat apa-apa. Bahkan sejauh dua kilometer hanya nampak samudra luas yang gelap.

Pierre pula North semaksimal mungkin menyeimbangkan kapal dari ombak yang keras kepala memberontak. Suara derasnya hujan membenam telinga mereka, sehingga komunikasi dilakukan sambil berteriak.

"Tidak ada apa-apa di sana!" Carsein berseru. Naga kecilnya, menembus kabut, kembali ke pundaknya sembari meloloskan erangan monster.

Arienne mengepal. Juward mengulum bibirnya, baru kali ini perkiraannya jauh dari kata akurat.

"Tunggu!" Minerva berucap panik. Rosemary berlari, melompat keluar kapal sehingga bunyi seseorang jatuh ke laut menarik perhatian Arienne.

Gadis itu menahan napas. "Rosemary, apa yang kau?!" ucapnya tak percaya.

Kepala Rosemary timbul di permukaan, berusaha untuk berenang mendekati kabut tipis yang mengelabui mata.

"Ada sesuatu di sana!" Rosemary bersikeras, berusaha berenang sembarangan. Namun, sepertinya arus yang membuat Rosemary terdorong ke depan.

Arienne menjambak rambutnya sendiri. "Astaga!"

Buru-buru kapal tempur itu menyusul, menembus kabut yang menutupi sebagian wilayah yang digambar oleh Juward. Gelap. Detak jantung Arienne semakin berdebar-debar.

Khawatir. Itu yang ia rasakan. Rosemary tanpa aba-aba pergi ke sana.

Saat kabut mulai lenyap, perlahan-lahan. Bayangan Rosemary mulai terlihat, Arienne memanggilnya sekencang mungkin. Hujan masih menghambat mereka.

Rosemary menoleh dengan dirinya yang basah kuyup. Anehnya, laut seolah adalah genangan air di bawahnya. Hanya sebatas mata kaki.

Minerva berkedip-kedip. Ia mengarahkan tangannya pada Rosemary. "Liontinnya bersinar!"

Seluruh mata tertuju pada Rosemary. Tuan putri itu sendiri langsung menunduk, menyaksikan sendiri bagaimana Batu Eterea di dalam liontin bersinar di gelapnya malam.

Ethan menengadah. Para awan mulai mempersilakan sang dewi di atas sana untuk tampil, menyinari dunia di antara pekatnya malam. Ombak mulai tenang, angin tak seagresif sebelumnya.

Carsein menyadari sesuatu. Ia berlari, mencari-cari buku yang dititipkan oleh Calypso. Arienne mengikuti kemana gerakan penyihir itu pergi, mata mereka bertemu, seolah bertukar jawaban tanpa kata yang berseru.

Maka, gadis dengan mata hazelnya yang berbinar mantap itu menatap Rosemary sekali lagi. "Rosemaarryy!"

Rosemary tertegun. Suara Arienne begitu lantang, membelah kabut di udara.

"Menarilah! Buka pintunya!"

Rosemary mengikuti naluri. Cahaya bulan terbuka untuknya. Rosemary merasakan kakinya menapaki sesuatu, meskipun gelap yang menyelimuti sampai mata kaki.

Rosemary dengan gerakan menunduk, membuka tangannya kemudian terentang. Gerakan tarian itu terpajang rapi dalam ingatannya. Ia bergerak luwes, mempersembahkan tarian kepada bulan.

Lama-lama tubuhnya diselimuti cahaya tipis. Lalu seolah tersambar petir, tubuhnya teregang kaku ke atas, bersama lehernya yang menekuk ke belakang. Matanya berusaha putih. Tubuhnya berputar. Bunyi gemericik air, derasnya hujan, mengiri Rosemary menari.

Hanyut penonton dibawa oleh tariannya. Sampai Ethan kembali menyadari arus laut mulai berubah. Pierre mengikuti kemana arus itu pergi. Di tengah-tengahnya Rosemary, mulai tercipta pusaran, semakin cepat gerakan Rosemary semakin besar pula pusaran arus tercipta.

Tapak kaki Rosemary terlihat. Pasir, anehnya tidak basah. Seperti tanah lapang tak berpenghuni.

Pusaran air semakin besar dan meluas. Pierre mengernyit, berusaha menjaga kapal agar stabil. Akhirnya pusaran membesar, meninggi, menutupi kapal dan Rosemary seperti sebuah dinding.

Rosemary tidak bisa berhenti. Guntur menggelegar. Suasana menjerat mereka, mencekam. Arienne meneguk salivanya. Tidak punya tebakan atas apa yang tengah terjadi sekarang.

Barulah saat Rosemary memutar tubuhnya selama lima kali berturut-turut dan berhenti. Pusaran besar itu menerkam mereka dari atas.

Mata Jake membesar. Gambaran masa lalu di mana dirinya dan teman-temannya dilahap oleh Charybdis sedang ditayangkan di kepalanya.

Ombak-ombak mengerikan hendak menggempur kapal mereka. North berlari dan melayangkan jari-jarinya ke atas, tetapi tidak terjadi apa-apa, dirinya kaget. Begitupun dengan Pierre, laut mencekam itu tidak bisa dikendalikannya. Sehingga sedetik kemudian, kapal tempur itu dihantam hebat.

Darah melambai, tercampur dengan bagian-bagian kapal yang hancur. Kapal terbalik sempurna, semua awak tenggelam di samudra.

Gelap.

Telinga Arienne berdengung. Gadis itu yakin membuka matanya lebar-lebar dengan jantung berdetak panik. Keras sekali bunyi detaknya sampai kedua telinganya seperti mendengar pukulan gendang dari jarak satu sentimeter.

Ombak yang mengamuk berseru. Mengancungkan kemenangannua ke langit-langit. Kapal itu tidak muncul lagi ke permukaan. Daratan penuh pasir kembali tenggelam oleh samudra. Kabut pun memisahkan diri.

Titik koordinat terlihat jelas. Sejauh dua kilometer terlihat jelas. Bahwa tidak ada apa-apa di sana selain lautan yang menerjang luas. Arienne dan teman-temannya menghilang seolah tak pernah melewatinya.

Kembali awan mengawal sang dewi malam. Cahayanya perlahan redup bersama hujan yang mereda. Tatkala ia pun ikut tenggelam, sang surya menggantikan tugasnya. Menerangi dunia dengan kemuliaannya.

Lantas, apakah perjalanan Arienne dan Caspian berakhir begitu saja? Akankah Pulau Phantom menjadi mitos semata?

. . .

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan 🥰❤️

PHANTOM'S WAY Where stories live. Discover now