Jonnathan Alexander Yoo

225 32 0
                                        

Sebagai adik yang sedari kecil selalu menempel kepada kakaknya, ada banyak hal yang Jo ketahui tentang kakaknya. Seperti bagaimana lembutnya hati sang kakak meski wajahnya mungkin menampakkan hal yang berkebalikan. Atau bagaimana kakaknya bisa mengorbankan jam tidurnya selama hitungan hari untuk menyelesaikan lagu-lagu yang sedang digarapnya. Maka dari itu, meski Chris tidak pernah mengatakannya, Jo tahu kakaknya itu selalu membuat jarak antara dirinya dengan anak kecil. Bukan karena tidak menyukai, tetapi karena tidak ingin membuat mereka menangis ketakutan karena wajah garangnya—sebuah hal yang nyata pernah terjadi.

Maka dari itu Jo agaknya cukup terkejut kala Chris mengajaknya untuk pergi mengunjungi panti asuhan yang diundang oleh ayah mereka untuk datang ke rumah mereka tempo lalu. Rasa terkejutnya kemudian tergantikan oleh pemahaman bahwa Chris dalam beberapa hari ini secara rutin melakukan kunjungan ke sana—kesimpulan yang Jo ambil dari cerita Chris selama perjalanan mereka. Hal lain yang Jo ambil dari cerita kakaknya adalah meski Chris membawakan makanan dan buah tangan lainnya untuk seisi panti, tujuan Chris sebenarnya adalah untuk mengunjungi satu anak. Si kecil, begitulah Chris memanggilnya selama bercerita penuh dengan semangat. Mulanya tentu Jo tidak tahu siapa yang dimaksud, tetapi kala Chris membawa sedikit keping dari hari peringatan satu tahun kepergian ibunda mereka, tidak butuh waktu lama bagi Jo untuk tahu bahwa si kecil yang Chris maksud adalah anak yang menangis dalam pelukan kakaknya hari itu.

Melihat bagaimana senyum Chris terlukis lebar setiap kali menceritakan tentang si kecil, rasa penasaran dalam diri Jo terpantik. Apa yang si kecil ini miliki hingga bisa membangkitkan gairah Chris yang sudah lama tidak Jo jumpai?

"Bang, kok lo bisa peluk dia waktu itu? Lo biasanya ngejauh kalau ada anak kecil, tapi ini enggak."

Chris yang sedang mengemudi melirik adiknya sekilas dan tersenyum kecil. "Karena dia kayak kita satu tahun yang lalu. Dia baru kehilangan orang tuanya, Jo. Langsung dua-duanya. Kita kehilangan bunda aja udah sakit banget, gimana dia? Dan dia masih kecil."

Jawaban Chris membuat Jo terdiam. Diamnya Jo sendiri dikarenakan yang Chris katakan tentang sakitnya satu tahun yang lalu itu adalah benar. Itu adalah masa di mana keluarga kecil mereka benar-benar tidak ada untuk satu sama lain karena sibuk menyembuhkan sayatan yang mengoyak hati masing-masing. Chris mengubur diri di kamar dan studio musiknya. Ayah mereka menyibukkan diri dengan berbagai proyek sebagai model kelas dunia dengan dalih sebentar lagi dia akan pensiun dari dunia permodelan di saat sebenarnya sedang mencoba melupakan sakit yang hatinya dera. Jo sendiri memilih menyembuhkan diri dengan menghabiskan lebih sedikit waktu di rumah karena seisi rumah mengingatkannya pada bunda dan itu mencekiknya hingga rasanya Jo ingin mati.

Kurang lebih enam bulan Jo habiskan di apartemen miliknya. Apartemen minimalis yang berjarak sedikit jauh dari rumahnya menjadi tempat Jo tidur, mandi, makan, dan mengerjakan pekerjaannya yang tidak bisa diselesaikan di kantor. Di enam bulan tersebut Jo memang dapat melupakan sedihnya dengan kesibukannya. Sampai akhirnya hampir memasuki bulan ketujuh, dada Jo diserang sesak yang tidak kunjung hilang. Mulanya Jo tekan perasaan itu karena pikirnya, bila dia meresapi sesak tersebut dia tidak akan bisa bangkit, hanya akan semakin jatuh dalam lubang kepedihan. Namun, pada akhirnya batinnya tak sanggup lagi menahan dan Jo berakhir dengan deraian air mata di sepanjang malam sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah menemui Chris dan ayah untuk benar-benar pulang. Pulang, bukan hanya mendiami tempat yang dapat ditinggali untuk tidur, makan, dan menghabiskan waktu sendirian dalam kubang kesengsaraan. Kala Jo menginjakan kaki di rumah, memang dia masih terpuruk dalam duka, tetapi jauh lebih baik ketimbang menjalani hidup sendirian layaknya mayat hidup yang hanya merasakan sedih dan sakit sebab melewati pedihnya duka dengan keluarga mengurangi bebanan sakit yang dijinjing.

Ingatan akan yang harus dia lewati tahun lalu membuat Jo khawatir dengan si kecil yang Chris sering jumpai belakangan ini. Jo menoleh kepada sang kakak yang membelokan kemudi, tatapan cemas dia lemparkan kepada sang kakak. "Bang, gimana anak kecil itu bisa ngelewatin sedih dan sakit kehilangan orang yang paling penting di hidupnya?"

"Gue enggak tahu, makanya gue selalu sempetin waktu buat datengin Chanler, kasih dia hadiah, bawain dia makanan, biar dia dapat kesenangan walau cuma sedikit. Karena itu yang gue butuhin tahun lalu, orang buat nemenin gue. Eh, tapi malah pada kabur-kaburan." Chris terkekeh di akhir.

Disindir, Jo meringis seraya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Yaah, maaf. Gue butuh waktu sendiri, gue pikir lo juga gitu, Bang."

"Cara orang berduka emang beda-beda, lagian gue juga salah sih enggak ada ngomong ke lo atau ayah. Gimana kalian bisa tahu gue butuh kalian kalau gue enggak ngomong? Lagian pada akhirnya lo sama ayah balik ke rumah dan habisin waktu sama gue, itu yang penting."

SUV milik Chris pada akhirnya terparkir di pekarangan sebuah rumah yang cukup besar mengingat rumah tersebut menaungi hidup dari puluhan anak. Ini bukan kali pertama Jo datang ke panti ini. Panti ini berada dalam naungan yayasan yang didirikan oleh ayahnya sehingga sudah beberapa kali Jo datang berkunjung walau Jo belum pernah datang untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak yang tinggal di sini. Karena itu pula Jo mengundang anak dan ibu panti ini untuk memenuhi permintaan sang ayah yang ingin menghabiskan peringatan satu tahun kepergian sang istri bersama dengan anak-anak, mengenang bagaimana wanita baik tersebut menyukai anak-anak dan selalu menyempatkan diri untuk pergi ke panti-panti yang dinaungi yayasan suaminya.

Setelah membagikan makanan untuk anak-anak dan pengurus panti, Chris dan Jo memonopoli si kecil Chanler. Setelah izin dengan ibu panti, Chris dan Jo membawa Chanler berjalan-jalan, tujuan mereka adalah tempat bermain dimana Chanler bisa bersenang-senang bersama dengan Chris dan Jo. Karena tidak mungkin membiarkan Chanler duduk sendirian di belakang, Jo yang ketika berangkat duduk di bangku penumpang depan kini duduk di belakang bersama Chanler. Selama perjalanan, Jo lebih banyak diam. Bukannya Jo tidak ingin bicara, tetapi selain hal-hal yang diceritakan Chris, Jo belum terlalu mengenal Chanler. Jadi biarlah dia diam sembari Chris berbicara dengan si kecil sampai nantinya Jo melihat celah dimana dia bisa ikut masuk dalam perbincangan mereka.

"Lele mau main drum enggak? Di sana ada game drum gitu." Chris bertanya.

Chanler mengangguk. "Mau." Anak itu nenjawab singkat.

Melihat celah yang ada, Jo mencoba peruntungannya. "Lele mau jadi drummer kalau udah gede?"

Si kecil menoleh kepada Jo. Ada sebercak rasa takut terlukis di kedua manik berbinarnya, Jo bisa melihat itu. Namun, Chanler tetap nenjawab pertanyaan Jo, membuat Jo merasa senang karena turut disertakan dalam perbincangan.

"Lele mau jadi dokter kalau udah gede."

"Oh? Dokter apa?"

"Um... enggak tahu."

Keluguan dan kepolosan Chanler seakan mencuci hati dan jiwa Jo yang lelah hari itu. Kepribadian si kecil juga sangat baik, membuat siapa pun yang menghabiskan waktu bersamanya ingin berlama-lama memonopolinya. Jika tidak keterlaluan mengatakan ini di saat ini baru kali pertamanya bertemu dengan Chanler, Jo rasanya ingin sekali menjadikan Chanler adiknya.

Little Dew Drop [JiChen | JaemLe]Where stories live. Discover now