Bersuten

4 1 0
                                    

Jalanan yang tadinya lenggang mulai memadat, di perempatan kendaraan saling mengklakson tidak sabaran. Suhu mulai naik, terik sekali mentari hari ini membuat perempatan di dekat sebuah sekolah dasar itu semakin berisik. Di tengah huru-hara kemacetan dan hari yang panas, tiga anak berjalan menyusuri trotoar dengan formasi satu anak laki-laki memimpin barisan. Tidak ada yang membuka obrolan, mereka tahu di jalan harus gesit agar tidak menghambat orang lain.

Anak laki-laki yang berjalan cepat dan memimpin di depan bernama Gamma. Seperti biasa ia mengenakan sepatunya yang sudah menganga setengah dikarenakan solnya lepas. Rambutnya kemerah-merahan akibat selalu terpapar matahari langsung diikuti kulitnya yang menggelap. Perawakannya kecil, kurus, ringkih, meski demikian senyum terbaik selalu ia suguhkan.

Di belakang Gamma, namanya Tetra. Rambutnya disisir rapih, penampilannya baik-baik saja. Satu-satunya yang ganjil adalah seragamnya yang menguning. Kedua orang tuanya sudah menawarkan berkali-kali agar ia mengganti seragamnya dengan yang baru, ia menggeleng. Bersitegas tidak ingin merepotkan keduanya. Ditabung saja uangnya— katanya. Tetra tidak pernah serius, ia penuh jenaka. Meski demikian, hatinya sangat tulus dan bersih. Dengan seragamnya yang menguning, ia mengatakan bahwa itu tanda perjuangannya bersekolah.

Terakhir, namanya Beta. Penampilannya sekilas baik-baik saja, rambutnya tergerai panjang, agak bergelombang. Tubuhnya semampai, agak berisi. Ia selalu memikul sebuah tas yang lebih besar dari tubuhnya dan entah bagaimana ia memikul berbagai macam perkakas macam-macam tersebut kemana-mana. Gamma sering bilang, Beta bisa saja bungkuk karena membawa beban seberat itu. Tapi bagi Beta, barangkali ia akan membutuhkan perkakas itu. Bagaimana jika Beta memutuskan untuk meninggalkannya ternyata hal tersebut kemudian penting baginya?

Ngomong-ngomong, hari ini mereka bertiga kembali bersuten¹ menentukan siapa yang memimpin jalan. Pemenang hari ini adalah Gamma. Mereka berjalan menelusuri trotoar jalan raya sebelum akhirnya menepi masuk ke gang-gang sempit. Teriknya matahari tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap melakukan agenda tetap setiap senin. Berkumpul. Bukannya mereia tidak bertemu di sekolah, hanya saja berkumpul yang kali ini berbeda.

Mereka bisa bermain, tertawa, menceritakan banyak hal di hari Senin. Mengapa? Sebab pekerjaan rumah sering absen di hari Senin. Orang tua mereka juga pasti sibuk bekerja dengan serius di hari Senin. Mereka bisa main sepuasnya. Untuk ukuran anak-anak, pembahasan mereka cukup aneh. Makanya mereka menelusuri tempat terbaik, terjauh, yang tidak dapat didengar oleh orang dewasa. Sebuah percakapan tentang mimpi dan kehidupan.

Seperti biasa, setibanya mereka di sebuah pondok sempit yang berdiri kokoh di tengah-tengah kawasan tambak lele yang tidak lagi beroperasi mereka meletakkan tas dan duduk bersila melingkar.

"Gamma, kamu yang mulai karena tadi kamu menang!" tuntut Tetra. Gamma mengangguk, ia mengeluarkan sebuah buku tata surya dari dalam tasnya.

"Hari ini cita-citaku ingin menjadi astronot!" seru Gamma. Ia memamerkan buku jadul mengenai tata surya tersebut kepada Tetra dan Beta. Sebuah buku yang ia dapatkan dari Kakaknya.

"Kenapa?" tanya Beta polos. Ini anomali. Sebab sebelumnya Gamma selalu mengatakan bahwa ia ingin sekali menjadi guru.

"Aku kemarin mempelajari bahwa ketika kita di ruang angkasa, kita tidak perlu berjalan," saut Gamma.

"Eh? Lantas? Terbang begitu maksudmu?" Kali ini Tetra yang menimpali.

"Benar. Di ruang angkasa itu tidak ada... apa ya namanya, aku lupa... gra... mmm... ya pokoknya ruang angkasa tidak memiliki sesuatu yang dimiliki oleh Bumi. Jadi kalau ke ruang angkasa kamu tidak perlu berjalan. Melayang bebas. Kamu tidak perlu sepatu untuk melindungi kakimu. Kamu tidak perlu cemas kalau jatuh dan terbentur, karena kamu selalu melayang bebas."

Bersuten  [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang