1. Dunia Potensi

51 7 5
                                    

NARA percaya cara menjadi unggul hanyalah tentang siapa yang memahami sesuatu terlebih dulu. Misalnya para siswa planga-plongo yang kalah cepat dari para murid bimbel dalam mendapatkan materi. Juga para tetua yang sibuk menasihati para pemuda.

Sebut saja Nara elitis dan besar kepala, sebab ia menjuluki diri sendiri sebagai salah satu dari si cepat dan si paling duluan tahu. Bukan karena Nara ikut bimbel ataupun les tambahan, atau bahkan sudah hidup 1000 tahun lamanya. Namun karena gadis itu memiliki privilese cuma-cuma nan lebih mujarab dibanding sekadar membayar sekolah kedua, ketiga, keempat, hingga ke sekian.

Nara bisa melihat dunia potensi di setiap orang.

Anak itu bisa menangkap dengan mata telanjangnya: jagat hebat berlatar ambisi pemiliknya, beserta ornamen-ornamen pendukung di dalamnya. Dan hukum kekekalannya: semakin luas, semakin megah, semakin melimpah aksesoris senada ambisinya, maka semakin besar tekad impian sang empunya. Begitu pun ornamen-ornamen di dalamnya, Nara melambangkannya sebagai dukungan cinta dari orang-orang berharga terhadap ambisi si pemilik dunia.

"Sudah selesai, belum?" omel suara bariton yang tengah memanaskan mesin motor dari teras. Tak lain tak bukan ialah kakak lelaki Nara----Nau----yang jarang pulang dari rantauan, sekali pulang akan misuh-misuh tiap kali dimintai Nara mengantarnya sekolah di pagi buta.

"Iya! Sudah selesai!" teriak Nara dari dalam rumah, tergesa-gesa ia memakai kembali sepatunya, menenteng tas punggung dan terbirit menghampiri Nau.

Nah, kebetulan sekali! Teori sudah, sisa contoh nyata dan biarkan Nau menjadi kelinci model! Di mata Nara, dunia potensi Nau terlihat seperti alam liar luas nan abu beserta petir dan laut-lautnya----tentu saja bagian favorit Nara adalah lautnya. Di dalamnya, ada banyak ornamen berupa hewan sampai gesper besar----memang aneh, tapi itu realitanya, entah siapa meletakkan benda-benda nyeleneh di sana. Dan satu ornamen paling memukau di dunia potensi Nau adalah ikan blue dragon sebesar awan, berenang tenang seperti penjaga.

Soal blue dragon, Nara pernah melihat ikan itu di kos-kosan Nau. Lelaki itu bilang, dia punya sepasang dengan teman perempuannya. Nara tidak yakin hanya sebatas kawan. Satu hal pasti, orang itu adalah pendukung cinta terbesar dan juga sangat berpengaruh bagi Nau. Mengalahkan si gesper aneh tadi.

Cukup tertata rapi, solid, dan mengerucut, bukan? Walau ada beberapa ornamen tidak nyambung di dalamnya, jika orang-orang bisa meminjam penglihatan Nara, mereka pasti mampu menebak dalam tiga detik: potensi Nau pastilah berhubungan dengan alam dan hewan. Dan tepat! Karena Nau adalah calon dokter hewan. Bahkan di dunia nyata, kamar kosnya sudah seperti kebun binatang-binatang nyentrik.

"Lama! Siapa jugalah di dunia ini yang berak sehabis sarapan?" sungut Nau kala Nara menaiki bangku penumpang di motor dan berpegang pada pinggangnya.

"Nara," jawab Nara spontan, muka temboknya semakin menyulut kekesalan Nau.

Meski menyebalkan, Nara tetap menyayangi Nau. Sebab ia tahu, di dunia potensi Nau, masih sehat ikan koi kecil pemberiannya ketika mereka berdua masih hanya sebesar biji jagung. Itu artinya, kakak lelakinya merawat cinta si adik dan diam-diam sangat peduli meski tidak sepeduli pada ikan blue dragon.

Dan seperti klaimnya di awal, privilese melihat potensi orang-orang ini menjadikannya si paling duluan tahu. Bayangkan, dalam sebuah kompetisi dan Nara sudah menilik seperti apa musuh dan kawannya, dan bagaimana harus bersiasat. Akan selalu ada cara baginya untuk menjadi unggul.

Sial.

Terlalu asyik menikmati dunia potensi Nau dan berbangga diri, Nara sampai lupa mengambil kembali buku pelajaran topping biologi dan geografinya di lemari kecil tumpukan buku bekas dekat kamar mandi utama. Sengaja ia sembunyikan di sana, karena apabila ditemukan ibunya tatkala mengecek kamar Nara, bisa-bisa akan ada perang dunia tiga nanti!

Patah RantaiWhere stories live. Discover now