3 | Si Perusak Rezeki

90 15 2
                                    

“Kamu emang pembawa sial.”

Gendhis melotot galak. Telunjuknya tergoda untuk menuding-nuding muka tampan Banyu.

“Kamu sendiri yang ndak mahir nyetir. Pake nyalahin orang segala.”

“Mana ada aku nggak mahir nyetir? Motor udah aku kuasai sejak kecil.”

“Halah! Tukang bual.” Gendhis berkacak pinggang.

Kakinya ingin melangkah pergi, tetapi hatinya tak tega melihat Banyu yang telentang di bed pasien. Untuk kedua kalinya pertemuan mereka diakhiri dengan mendekam di pusat kesehatan.

Yang pertama di puskesmas, kini Gendhis harus pasrah menerima nasib menemani Banyu di UGD. Pergelangan tangan pria itu terkilir dan harus mendapat pengobatan akibat jatuh dari motor.

“Kamu tadi nyelonong sembarangan depan motor aku. Kamu punya mata nggak, sih? Kalau jalan itu dilihat, meski itu tempat parkiran.” Banyu berusaha bicara dengan sabar.

Gendhis mendesah keras. Ditariknya kursi plastik dan duduk di samping bed Banyu. Kali ini Gendhis tidak berniat menyanggah. Dia tahu, dirinya memang bersalah.

“Aku minta maaf.” Perempuan itu menarik-narik ujung kemeja katun yang dipakainya. Penampilan Gendhis benar-benar berantakan sekarang. Sama sekali tak terlihat jika dia pernah menjadi mahasiswa salah satu PTN bergengsi Malang dan punya bisnis kuliner kecil-kecilan bernama Depot Gudeg Pakuncen.

“Ya udah, pulang saja kamu. Entar dicari majikanmu lagi.”

Alis Gendhis terangkat tinggi. “Majikan? Majikan apa?”

Ganti Banyu yang menatap bingung. “Kamu pembantu, kan?”

Bak dihantam wajan tepat di kepala, Gendhis melongo. Matanya mengerjap-ngerjap. Mulut terbuka lebar. Pilinan jarinya di ujung kemeja makin kencang.

“Kamu emang brengsek, yo!” Gendhis meradang. “Mentang-mentang tampilanku kayak babu gini, terus kamu anggap aku ini babu beneran?”

“Loh, bukan?” 

Gendhis mengentakkan kaki kuat-kuat. Refleks dia mendorong kursi hingga jatuh terguling bersamaan dengan dirinya yang berdiri tegak. Galak perempuan itu memelototi Banyu yang masih terkapar di tempat tidur.

“Aku ndak punya kartu nama. Tapi ….”

Gendhis melesat ke stasiun perawat dan kembali dengan selembar kertas. Dadanya masih tersengal-sengal menahan amarah. Kasar tangannya menyorongkan kertas itu ke pangkuan Banyu.

“Ini nomor hapeku. Kalo ada apa-apa sama tanganmu, WA aja aku ke situ.”

“Eh, mau ke mana?”

“Pulang!” jawab Gendhis ketus.

Perempuan itu tak menunggu balasan Banyu. Langkahnya panjang-panjang keluar UGD. Emosi masih menggelegak hingga ubun-ubun. 

Sialnya Gendhis lupa membawa dompet, bahkan ponsel saja ketinggalan di depot. Belum cukup sial menyapa, hujan mendadak turun dengan deras. Gendhis terjebak di bagian depan rumah sakit dan berdiri dengan perasaan dongkol.

“Sial banget sih, aku. Kenapa harus ketemu sama si brengsek itu? Ganteng sih, ganteng. Tapi akhlakless beneran mulutnya.”

Gendhis menunduk memandangi dirinya sendiri. Helaan napasnya terdengar berat. Emosi perlahan-lahan surut setelah mendengar deras hujan dan air yang memercik ke ujung kaki.

“Yah, dia ndak salah juga, sih. Penampilanku emang gembel banget. Beda jauh sama mbak-mbak cantik yang beli di warung dia.”

Gendhis menatap langit. Kelabu dengan gumpalan tebal awan. Dia benar-benar tak punya inspirasi untuk pulang tanpa harus menerjang hujan. Saat sedang termangu itulah, sekaleng minuman dingin tiba-tiba menempel di pipinya.

Banyu Gendhis (18+)Where stories live. Discover now