Scarlet

455 68 35
                                    

GARIS-GARIS cahaya menembus lubang-lubang pada bebatuan, menyinari gua yang dingin dan sedikit lembab. Sayup-sayup terdengar suara dari kejauhan –burung-burung, serangga, dan gemerisik pohon yang tertiup angin. Mata anak itu terbuka oleh pantulan cahaya pada air yang membayangi wajahnya. 

Sudah lama waktu berlalu­ ­­–mungkin, dia juga tidak tahu.

Anak laki-laki itu mendorong tubuhnya untuk bangkit, lalu memanjat gua dengan berpengangan pada sela-sela retakan dinding. Cahaya yang datang padanya hari ini terasa begitu spesial sehingga dia tidak sanggup untuk tidak mencoba meraihnya.

Udara di hutan terasa hangat. Tanahnya basah seperti baru saja terguyur hujan tadi malam. Seekor cerpelai mengintip dari lubang pada batang pohon, lalu kembali bersembunyi cepat-cepat. Burung-burung yang mulanya terbang di atas hutan memilih turun dan hinggap di dahan-dahan pohon yang dilewati anak itu. Mereka tidak pernah melihat anak laki-laki yang sekarang sedang melewati hutan mereka sebelumnya, jadi mereka ingin tahu siapa.

Apakah itu anak manusia? Atau anak dari makhluk lain yang tidak mereka kenal?

Puluhan burung lalu berangsur-angsur jadi ratusan burung yang datang untuk melihat karena penasaran dengan keberadaannya. Anak itu telah berjalan sangat lama sejak dia meninggalkan gua. Dia tidak pernah berhenti pun tidak tahu ke mana tujuannya yang sebenarnya. Dia hanya terus berjalan ke depan, belok bila ada pohon, dan menghindar bila ada binatang buas.

Di ujung perjalanan panjangnya melewati hutan, anak itu melihat sebuah desa. Dia mengamati mereka dari atas pohon entah berapa lama. Tidak berani untuk menampilkan wajahnya.

Hingga pada suatu hari dia bertemu dengan seorang manusia. 

Manusia itu terlihat mirip dengannya. Mereka masih berbeda, tapi anak itu berpikir kalau mungkin dia akhirnya menemukan tujuan dari perjalanan panjangnya. Akan tetapi, anak itu tidak tahu kalau sebuah tujuan bisa jadi sangat menyakitkan.

Ketika manusia itu melihat kedatangannya, sebuah batu seukuran genggaman tangan membentur kepalanya. Anak itu bertanya-tanya, mengapa?

Kaki anak itu berjalan mendekat, tapi manusia yang barusan melemparnya dengan batu itu beringsut mundur, sambil berteriak-teriak, "Iblis! Iblis! Pergi dariku, kau iblis!"

Iblis? Anak itu memiringkan kepala. Apa artinya? Apakah itu buruk? Atau sesuatu yang baik?

Anak itu kemudian mengerti dari getar ketakutan yang terpancar dari mata manusia di hadapannya bahwa 'iblis' bukanlah sesuatu yang baik. Mengapa? Mengapa aku adalah sesuatu yang tidak baik? Anak itu bertanya lagi dalam hatinya.

"Ha... Ha... Lo..."

Sambil memekik ketakutan, manusia tadi langsung berlari kencang. Tas selempang lusuhnya yang terbuat dari kulit sampai tertinggal saking buru-burunya ia.

Anak itu memegangi lehernya yang barusan mengeluarkan suara. Ah, jadi itu karena suaranya yang jelek makanya manusia tadi ketakutan.

Tidak ingin menyerah, anak laki-laki itu mengikuti hingga sampai ke desa. Tidak lupa ia bawa tas kulit yang tertinggal tadi. Sayangnya, begitu ia menginjakkan kaki di sana, para penduduk desa langsung menodongnya dengan senjata-senjata yang mereka miliki. Baik itu yang betulan senjata maupun alat tani –bahkan perlengkapan masak, semuanya kelihatan keras dan tajam.

Anak itu mengangkat tangannya dan dengan sedikit keberanian melambai pada mereka.  Bicaranya masih serak dan terbata-bata. "Ha... Lo..."

Sebuah suara tembakan meletus.

"Iblis!" seru seorang pria yang membawa selongsong senapan. "Pergi dari desa kami! Dasar kamu monster!"

Peluru yang melukai pergelangan kakinya terasa jauh lebih menyakitkan daripada lemparan batu. Anak itu akhirnya mengerti bahwa dia tidak boleh berada di tempat ini.

HIDDEN FILES: A CREATURE| Sunoo [ENHYPEN]Where stories live. Discover now