Bab Tujuh: Suharto, Inc.

81 3 1
                                    

Kimmel Centre adalah pusat universitas yang berupa sepetak bebatuan konkrit setinggi lima lantai di sisi Jalan La Guardia, berseberangan dengan Washington Square tadi. 

Bendera ungu berlogo NYU berkibar pada tiang-tiang miring di dinding-dindingnya. Para mahasiswa datang untuk menghadiri seminar, menonton pertunjukan di auditorium, membaca dan riset di perpustakaannya, atau sekadar minum kopi di kafetaria lantai dasar. Di sisi bangunan ini, sebuah bangunan bata merah lain berdiri, menjulang lebih tinggi beberapa lantai. Perpustakaan Elmer Holmes Bobst, kata Tsar, salah satu perpustakaan umum terbesar milik NYU. Di dalamnya tak hanya buku. Melainkan juga sejumlah koleksi karya seni; lukisan, patung dan seni pahat, video pertunjukan, dan sebagainya. 

Salah satu lantainya diperuntukkan sepenuhnya bagi rekaman jurnalisme nasional dan internasional.

“Lantai berapa?” tanyaku.

Ia mengangkat bahu. Tak pernah ke sana.

Seminar jurusan Tsar berlangsung di sebuah auditorium dengan ratusan kursi merah tersusun menurun mengelilingi panggungnya. Lampu-lampu redup dan sinar layar proyektor memantul di wajah semua orang. Seperti ketika Steve Jobs mengenalkan Macintosh pertama kali. 

Sang pembicara, namanya Jeffrey Jorgen, bercerita tentang peluang bisnis rintisan daring di awal era Y2K. Ia memulai dengan cerita hidupnya sendiri sebagai mahasiswa. Cerita itu lama. Sejumlah mahasiswa mulai menarik punggung mereka, bersandar dan merosot di kursi. Mungkin karena dia bukan Steve Jobs. Tsar memutar-mutar ring laminating kartu mahasiswanya di jari telunjuk, bosan dan tanpa sadar. Ketika kupandangi dia, ia memutar kedua bola matanya ke belakang.

“Toilet di mana?” bisikku.

“Keluar, belok kiri, lurus terus, paling ujung.”

“Boleh pinjam itu?” kutunjuki kartu mahasiswa di ujung jarinya.

“Mau bawa student card ke toilet?” tanyanya, tapi mengacungkan kartu itu kepadaku dengan setengah bercanda. “Pintunya nggak pakai akses, kok.”

“Tapi pintu perpus pakai?”

Air muka bosannya pecah oleh riak ketertarikan. Baru sadar dan paham. mengapa aku bisa setuju dengan ajakan ini begitu mudahnya tadi. 

Namun, ia tak mempertanyakan apapun. Tidak pula menarik kartu mahasiswanya kembali. Sudah terlambat, dan ia tak punya alasan untuk menahanku di sini. 

Kuraih kartu itu ke dalam genggaman. “Meet here when it’s done?”

Cool. Masih lama. Paling cepat dua jam lagi.”

Aku dan Tsar sama sekali tidak mirip. Lebih tidak mirip lagi dengan versi dirinya yang ada dalam foto di kartu itu. Ia memiliki rambut lurus dalam potongan crew-cut yang tipis, hampir botak, dan tubuhnya lebih berisi. Tidak kusiapkan jawaban bila ternyata nanti ada yang bertanya mengapa foto di kartu itu orang lain. Perjalanan menuju lantai koleksi rekaman jurnalisme perpustakaan Elmer Holmes kurang dari lima menit. Tempat itu baru pertama kali kudatangi, dan semua hal itu tak sempat kupikirkan.

Perpustakaan itu sepi ketika aku tiba. Pustakawan melihatku sejenak dari balik pintu yang kututup pelan. Ia melirik tulisan di jaket yang kukenakan, kemudian kembali menunduk dan menulis di mejanya. 

Sebuah lemari kaca tak jauh dari jalan pintu masuk memperlihatkan koleksi media cetak yang sampulnya terbaca dari luar. Forbes, Times, National Geographic, dan seterusnya. Lemari itu tertutup, tapi dengan kunci tergantung pada lubang di pintunya.

Seraut wajah pada salah satu sampul majalah Time di balik kaca itu kukenali benar. Judul dalam huruf-huruf besar merah menyala tercetak pada bahunya; Wahid’s Woes.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 27 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Amplitudo NinoWhere stories live. Discover now