Bab Tiga: Penangkapan

176 21 9
                                    

Di dalam mimpiku, peristiwa itu berputar berulang-ulang.

Pekat kabut yang turun begitu mata menutup dan tidur menenggelamkan. Jalanan yang lebar, dan selalu jalanan yang lebar meski tak kuketahui pasti yang mana. Terdengar pekik-pekik suara yang panik dan ketakutan dari kejauhan. Suara letupan, asap hitam. Lalu kusadari, bukanlah kabut yang menyebabkan keburaman ini.

Melainkan residu gas airmata yang bersarang di retina.

Kulepas kacamata dan mengucek mataku dengan pergelangan tangan. Aku mengenakan jas almamater. Hijau lumut, lusuh dan tua.

Semanggi-kah ini?

Salemba-kah?

Saat lensa kupasangkan kembali, pekik-pekik suara itu terdengar lebih jelas seolah lensa turut menyaring distorsinya. Lebih dekat, dan aku segera berlari mengikuti arahnya. Ini bukan Semanggi. Bukan Salemba. Pucuk-pucuk atap menjulang di atas kabut asap itu. Aku mengenalinya; bagian dari periode masa yang lebih jauh, lebih lama. Lebih tenang—dulunya. Masa yang kini, dalam dunia nyataku, hampir seolah-olah datang dari dimensi yang berbeda. Atap rumah sakit dan biara kesusteran Panti Rapih. Bundaran dan bulevar kampus, supermarket Mirota. Di salah satu pucuknya, sesosok hitam mengendap-endap dengan sepucuk senjata laras panjang. Terbidik siap ke bawah, kepada lautan manusia.

Aku harus memberitahu Tengku.

Tengku, tarik mundur semua kawan-kawan. Ada sniper di atas Panti Rapih.

Jangan ada yang di tengah jalan.

Aku berlari, menyeberangi persimpangan dengan dua ruas yang bagaikan telah berubah menjadi medan perang. Aku harus berlari menyelamatkan diri. Aku berlari mendekati arah suara-suara. Semakin dekat, semakin kukenali.

Gang kecil di samping supermarket Mirota terlihat seperti tempat persembunyian yang aman. Parit-parit garis depan. Jauh dari balik kabut, tampak mahasiswa-mahasiswi menyelinap menghilang ke dalamnya. Lalu... sosok itu.

Perwira dalam seragam hijau loreng dan rambut seorang mahasiswi dalam genggamannya.

Nalia.

Tidak, jangan.

Ia menjerit ketika tangan yang lain perwira itu mencengkeram lehernya. Terangkat dan ditekan pada tembok bangunan, ujung kakinya meninggalkan tanah.

"Nalia!" teriakku, berlari dan mendorong apa pun yang menghalangi langkahku.

Seorang mahasiswi lagi hadir entah dari mana, dan tahu-tahu sesuatu pada genggamannya menghantam tengkuk si perwira loreng.

Itu Nalia.

That's my girl.

Gadis yang tercekik itu kini terbebas dan terbatuk-batuk. Sebelum kukenali, Tengku melompat dari jalan dan mendahuluiku. Ia terengah, marah. "Lin Lin!"

Aku dan Tengku mengeroyok laki-laki perwira itu hingga ia tak berdaya.

Aku ingat menahan lehernya ke tanah seperti ia menahan leher Lin Lin ke dinding. Lin Lin yang tadinya kukira Nalia. Dalam posisi itu, ia mengayunkan tongkat pemukulnya ke segala arah yang mungkin. Sebuah ayunan mengenai sisi kepalaku, hentakan yang membuatku marah. Kuhujamkan tinju ke wajahnya dan hidungnya mengucurkan darah segar dalam sekali pukulan. Namun, aku tak berhenti. Pukulan itu berkali-kali sejauh masih kumiliki tenaga untuk melipatgandakan sakitnya. Melampiaskan ketakutan, kemarahan, kebingungan atas hal-hal yang semakin lama semakin tak terbendung dan semakin kabur. Aku ingin memastikan bahwa ia benar-benar berdarah dan kesakitan. Aku ingin mendengarnya minta ampun. Aku ingin mereka merasakannya.

Amplitudo NinoWhere stories live. Discover now