Prolog

393 48 6
                                    


New York, 29 Juli 2001

Dear Nalia,

Bahkan jauh sebelum hari ini, hidupku telah lama berakhir.

Sisa waktu yang kujalani, yang tinggal kumiliki, hanyalah berupa siang-siang yang kosong dan mati. Malam-malam adalah gelap yang menderu bising, ramai orang-orang tak kukenal, mimpi-mimpi yang hidup dan bayangan liar akan hari itu.

Aku mereka-reka segala kemungkinan, andai saja tak pernah kulakukan segala apa yang telah kulakukan itu. Mencari dari setiap sudut pandang kecil yang mungkin kulewatkan. Andai aku tak menyetujui untuk pergi meninggalkan kampus dan kota Jogja malam itu. Andai perkelahian dengan perwira di gang supermarket itu tak pernah terjadi. Andai saja tidak kuturuti segenap dendam dan kemarahanku hari itu. Andai saja.

Namun bila segala yang telah terjadi itu terjadi sebaliknya pun, mungkin kita tetap tak akan bersama.

Aku sungguh mengira bahwa bila semua telah berakhir, bulan Mei itu berlalu, pergerakan digulirkan dan rezim tumbang, segalanya akan lebih baik. Hidup akan normal kembali-dan lebih baik. Setidaknya tak akan ada kemarahan yang sama. Segalanya telah tumpah, telah terlampiaskan.

Kenyataannya, kerusakan pada tahun itu hanyalah membawa kepada kerusakan-kerusakan yang lain. Dendam berbalas dendam yang berubah menjadi vendetta tak berkesudahan. Kami telah menyulut bara hitam yang tak hanya membakar diri kami sendiri, tapi juga orang-orang yang tak berada di mana pun di dekat api reformasi. Mereka yang meninggal, hilang dan tak pernah pulang, para ibu-ibu yang berdiri di depan gerbang istana negara dan terus menunggu anak-anak serta berita tentang keberadaan mereka....

Aku sedang menerima akibat dari bagianku sendiri.

Rezim itu tak pernah benar-benar hancur, dan mereka tak akan melepaskanku.

Sementara bising di kepalaku tak kunjung reda. Letupan gas air mata dan teriakan yang terus kudengar dalam mimpi, letusan senjata yang kudengar pertama kali puluhan tahun yang lalu dan tangis sunyi gadis kecil yang ditinggal mati ibunya.

Bila pertarungan ini telah usai, sungguh aku telah berada di pihak yang kalah.

Bila pertarungan ini masih berlangsung, maka ini adalah sejauh-jauhnya perlawananku.

Maafkan aku, Na. Inilah penghabisan. Hari ini, aku tahu aku tak akan pernah melihatmu lagi.

Namun aku mencintaimu, kuharap kau tahu.

*

Namaku Giftan Mariano Alatas. Aku pernah bergerak bersama ratusan mahasiswa UGM dan UI di bulan Mei 1998, dan Mei dan September 1999. Aku mengalami dan menyaksikan di depan mataku sendiri; kematiam, penangkapan, penganiayaan, dan kesewenang-wenangan rezim yang tak adil.

Bila kelak, kau, Nalia-atau siapapun, siapa saja-sampai menerima surat ini, maka aku sudah mati.

Nino.

Amplitudo NinoWhere stories live. Discover now