"Astaga!" Tak tahan kesal, Arlan langsung membekap mulut Mima hingga suara wanita itu teredam.

Mima menjerit dibalik tangan Arlan sambil menatap pria di hadapannya dengan tajam. Dia berusaha memberontak untuk melepaskan diri tapi Arlan terlalu kuat menahannya. Pria itu mengungkung Mima pada tembok, wajahnya sangat dekat dengan wajah Mima.

"Bisa diam gak? Kamu tuh di dalam sini, nih!" Arlan menunjuk kening Mima dua kali. "Mikirnya jelek terus tentang saya. Jemima, apa kamu anggap saya ini maniak perempuan, ha? Hanya karena kamu mergokin saya ciuman sama Lova, itu menjadi tanda saya ini cowok brengsek? Asal kamu tau, ya. Kita ciuman karena sama-sama mau, gak ada unsur paksaan dan itu artinya bukan tindakan kejahatan. Semalam saya telepon kamu cuman buat nanya pekerjaan, tapi kamu ini ... yang katanya anak gadis, baik-baik, lagi tepat di kelab karena kebanyakan minum.

Saya bawa kamu ke apartemen saya, dan mengizinkan kamu tidur di atas kasur saya, karena saya gak bisa masuk ke apartemen kamu. Saya bisa aja kurang ajar, lho, dengan cek barang pribadi kamu untuk tau pin apartemen kamu tapi saya gak lakuin itu, karena saya tau sopan santun. Dan saya pastikan saya gak pernah apa-apain kamu, kamu baik-baik aja, dan saya juga gak minat sama badan kamu yang kayak anak SMP itu." Kedua kelopak mata Mima melebar mendengar ejekan Arlan barusan, dia menggeram marah hingga Arlan mengeratkan bekapannya.

"... Saya bukan cowok brengsek, Jemima. Dan harus kamu tau satu hal, kalo saya gak akan pernah melakukan sentuhan intens tanpa izin dari si pemilik tubuh. Sekalipun dia adalah pacar saya. Ngerti?"

Kedua mata pria itu masih setia menatap ke arahnya dengan tajam, terlihat jelas jika sikap Mima kali ini membuatnya sangat tersinggung. Ya, Mima salah, sih, main tuduh asal begitu saja. Tapi memangnya siapa yang tidak panik saat tahu Mima dibawa ke apartemen seorang pria tanpa persetujuan dirinya?

Akhirnya Arlan melepaskan telapak tangannya dari bibir Mima, wanita itu menekuk wajahnya dan berhenti mengomel seperti sebelumnya. Arlan membuang napas asal lalu menarik lengan kausnya setengah.

"Mending kamu cuci muka, terus sarapan. Saya udah bikinin bubur buat kamu." Mima semakin menundukan kepalanya, tanpa mengeluarkan sepatah kata, dia mengangguk lalu menatap punggung Arlan yang melenggang menjauh dari hadapannya.

Mima jadi merasa bersalah. Padahal Arlan banyak melakukan hal baik padanya, tapi otak kotor Mima malah merusak semuanya.

Apa yang harus Mima lakukan sekarang?

Arlan tengah menyusun mangkuk dan sendok ketika Mima muncul dengan penampilan yang jauh lebih baik dari sebelumnya ---meskipun mengenakan Hoodie milik Arlan, yang nyaris menelan seluruh tubuh perempuan itu, tapi ternyata kelihatan cocok-cocok saja.

Mima sedikit malu sebenarnya, apalagi Arlan sampai meminjaminya pakaian milik pria itu. Tadinya Mima mau langsung pulang saja, tapi ternyata perutnya sangat lapar. Tahu begini Mima jadi menyesal karena pergi ke kelab sendirian malam tadi.

Mima menatap semangkuk bubur hangat yang baru saja Arlan hidangkan untuknya. Tidak terlihat seperti bubur untuk orang sakit, tampilannya pun cukup menarik dengan adanya potongan daging serta sayuran.

"Makan! Masakan saya gak seburuk itu, kok." Suara Arlan memecah keheningan diantara mereka. Pria itu juga memakan bubur yang sama dengan Mima, artinya Arlan tidak sepenuhnya masak hanya untuk Mima seorang, 'kan?

Padahal Mima nyaris kege'eran dan merasa spesial.

Mima menggenggam sendoknya dan menyuapkan bubur tersebut ke mulutnya. Ia sedikit tertegun beberapa saat sebelum akhirnya kembali mengambil suapan berikutnya, lalu seterusnya. Buburnya enak.

Melihat Mima yang makan dengan lahap, ada perasaan bangga dalam diri Arlan karena secara tak langsung wanita itu mengatakan jika masakannya layak untuk dinikmati. Arlan memang bukan seseorang yang jago membuat berbagai makanan, hanya menu mudah dan tidak merepotkan. Arlan merasa senang kalau Mima bisa memakan makanan yang dia buat.

My Beloved Staff (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang