12

21 1 0
                                    

Waktu terus berjalan tanpa kenal lelah, membawa perubahan yang tak terelakkan bagi setiap makhluk hidup, termasuk bagi Ki Ageng Pandu, seorang tabib kerajaan yang dihormati. Namun, usia tidak pernah berpihak pada siapapun, bahkan pada seorang tabib yang mahir sekalipun. Ki Ageng Pandu kini terbaring lemah oleh penyakit yang tak kunjung sembuh.

Awalnya, gejala penyakit itu hanya sebatas keluhan ringan yang sering diabaikan oleh Ki Ageng Pandu. Namun, seiring waktu berlalu, keluhan itu semakin menguat dan melemahkan tubuh sang ayah. Cia yang selalu ceria dan penuh semangat, kini harus menahan sedih dan khawatir melihat kondisi ayahnya yang semakin memburuk.

"Ayah..." ujar Cia sambil menatap Ki Ageng pandu yang terbaring lemah di atas tempat tidurnya tanpa merespon panggilannya.

"Jangan khawatir Ayah. Ayu akan melakukan segalanya untuk menyembuhkanmu. Ayu akan menggunakan semua pengetahuanku sebagai tabib untuk mencari obat yang tepat untuk Ayah" ucap Cia tekan penuh keyakinan.

Tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja, Cia memutuskan untuk menggunakan segala pengetahuannya sebagai seorang tabib untuk menyembuhkan ayahnya.

Dengan penuh ketekunan dan kegigihan, Cia mengobati ayahnya setiap hari, mencoba segala cara yang ia tahu untuk mengatasi penyakit yang merajai tubuh sang ayah. Meskipun kadang merasa putus asa karena tak kunjung mendapatkan hasil, Cia tetap bertekad untuk tidak menyerah.

"Nduk, jangan terlalu memaksakan dirimu. Ibu tahu betapa kerasnya Ayu bekerja untuk berusaha menyembuhkankan Ayah" ujar Ni Sara dengan sendu.

"Ibu, kesehatan kalian berdua adalah prioritas Ayu. Ayu tak akan pernah berhenti berjuang untuk menyembuhkan Ayah" Cia berucap demikian berusaha meyakinkan Ni Sara.

"Kami sangat beruntung memiliki anak sebaik kamu, Nduk. Meskipun waktu terus berlalu, Ibu berharap kita akan selalu besama" ucapan penuh harap Ni Sara.

Meskipun usaha dan perjuangannya belum membuahkan hasil yang diharapkan, Cia tak pernah menyesalinya. Baginya, waktu adalah anugerah yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin, bahkan jika itu berarti berjuang melawan keterbatasan diri sendiri.

Namun, takdir berkata lain. Ki Ageng Pandu meninggal dunia, meninggalkan Cia bersama Ni Sara dengan hati yang hancur. Meskipun sedih, Cia tahu bahwa perjuangannya untuk menyembuhkan ayahnya telah memberikan yang terbaik baginya. Ki Ageng Pandu mungkin telah pergi, namun warisannya berupa ilmu dan kasih sayang tetap abadi dalam hati Cia.

Kabar kematian Ki Ageng Pandu membuat seluruh kerajaan berduka. Raja, para bangsawan, dan rakyat jelata merasa kehilangan sosok yang begitu dicintai dan dihormati.

Pemakaman Ki Ageng Pandu diadakan dengan khidmat. Seluruh kerajaan berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada tabib yang telah begitu banyak berjasa bagi mereka. Meskipun Ki Ageng Pandu telah tiada, warisannya akan tetap hidup dalam kisah-kisah kebaikan dan keahliannya dalam menyembuhkan penyakit.

Iya terus menangis di depan tubuh yang telah terbujur kaku di hadapannya.

"Ayah, mengapa Ayah harus pergi meninggalkan Ayu?" ujar Cia sambil tersendat-sendat karena menangis sesegukan.

Ni Sara kemudian menghampiri Cia dan berusaha menenangkannya "Nduk, Ayah harus pergi karena itulah takdir yang telah ditetapkan. Ayah pasti akan selalu ada di hatimu, meskipun Ayah sudah tidak lagi di sampingmu lagi"Ni Sara berkata demikian padalah hatinya juga hancur karena ditinggal oleh belahan jiwanya yang adalah suaminya.

"Tapi, Ibu, bagaimana Ayu dan Ibu bisa melanjutkan hidup tanpa Ayah di sini?" tanya Cia dengan nada putus asanya.

"Ayu, Ibu tahu bahwa Ayu kuat. Ayu memiliki kebaikan dan kebijaksanaan yang sama seperti Ayah. Ibu yakin bahwa kita akan mampu melanjutkan kehidupan dengan penuh keberanian" ujar Ni Sara sambil mengelus punggung Cia.

Destiny? (SELESAI)Where stories live. Discover now