37 | Deep Talk

867 135 43
                                    

Kaiya berdiri mematung setelah mengambil kopernya dari conveyor belt di baggage claim. Wanita itu menghela napas berkali-kali untuk membebaskan dadanya dari rasa nyeri yang menyerang sejak pesawatnya mendarat di bandara Soekarno-Hatta sekitar dua puluh menit lalu.

Setelah mengembuskan napas panjang sekali lagi, Kaiya mengangguk, memantapkan hatinya untuk melangkah keluar dari terminal kedatangan itu.

Rileks, Ya, lo cuma mau pulang ke rumah. Lo cuma ketemu Mas Ayi—yang masih jadi suami lo sampai sekarang. Lo nggak perlu ngobrol atau nanggepin dia terlalu serius. Lo cuma perlu nyediain semua kebutuhan dia tanpa harus berinteraksi langsung. Jangan baper lagi. Semangat, Aya! Lo pasti bisa!

"Kaiya!"

Langkah Kaiya terhenti. Dia pun menoleh untuk mencari tahu siapa yang memanggilnya. Matanya sontak membeliak saat menemukan Airlangga tengah berlari kecil ke arahnya.

Ngapain dia di sini? Eh, ini kan tempat umum, ya. Tapi, kenapa selalu kebetulan ketemu dia kalau gue lagi berantem sama Mas Ayi, sih?

"Hai, baru landing juga?" tanya Airlangga saat dia sudah berdiri di hadapan sang adik ipar.

Kaiya mengangguk patah-patah. "I—iya, Mas. Mas Angga kok bisa ada di sini? Dari mana?"

"Dari Bangkok." Airlangga menoleh ke kanan dan kiri, tampak sedang mencari sesuatu. "Aiden mana?"

"Mas Ayi udah pulang sejak tiga hari yang lalu."

Kening Airlangga berkerut. "Kalian berantem lagi?"

Napas Kaiya berhenti beberapa saat. Dia cepat-cepat menguasai diri agar tidak menimbulkan kecurigaan sang kakak ipar. Dia mengajak Airlangga untuk lanjut berjalan keluar terminal sambil ngobrol.

"Mas Ayi memang cutinya cuma tiga hari. Jadi, aku sama dia nggak bisa pulang bareng." Kaiya menjawab pertanyaan Airlangga yang tertunda tadi.

Airlangga ber-oh pendek. "Syukurlah kalau nggak ada apa-apa. Soalnya, dia sempat nanyain jadwalmu ke aku. Dia bingung karena kamu nggak ngabarin sama sekali kalau kamu udah berangkat ke Jepang."

Kaiya menipiskan bibir, tanpa membalas kalimat Airlangga.

"Kamu kenapa nggak ngabarin dia, Ya?"

"Hm?" Kaiya menoleh dan mendongak guna dapat melihat Airlangga yang tinggi menjulang. "Itu ... itu ... aku cuma mau mancing biar dia mau nyusul aku."

Airlangga menoleh cepat seraya menghentikan langkahnya, yang otomatis diikuti Kaiya. "Maksudnya?"

Kaiya tersenyum kecut. Dia memutus adu pandangnya dengan Airlangga dan lanjut berjalan. "Ya, gitu, deh. Aku cuma mau ngetes aja, dia lebih milih aku atau solo trip-nya."

"Wah ...." Airlangga bergidik sambil menyusul Kaiya. "Serem asli kaum kalian tu. Tinggal bilang aja kalau minta disusul kenapa, sih? Pake acara mancing dan bikin panik segala."

Kaiya hanya menanggapi dengan kekehan pelan. Sebenarnya, masalahnya tidak sesimpel itu, tapi Airlangga tidak perlu tahu.

"Kamu pulang naik apa? Dijemput Aiden?" tanya Airlangga begitu mereka melewati ambang pintu keluar.

Kaiya menggeleng. "Aku pulang sendiri."

"Aiden ke mana?"

Kaiya menilik jam tangannya. "Biasanya masih di studio."

Airlangga menoleh pada Kaiya lagi. "Kamu belum ngabarin dia kalau udah sampe sini?"

Kepala Kaiya menoleh ke arah sang kakak ipar. "Mas Angga mau temenin aku makan dulu, nggak? Di deket sini aja. Atau di dalem juga nggak apa-apa. Aku laper banget. Kayaknya nggak kuat kalau mesti nahan sampai rumah. Aku juga lagi males makan sendirian."

Us, Then? ✓ [Completed]Where stories live. Discover now