"Pagi. Langsung dipakai?" tanya Arlan seraya menunjuk tas di tangan Mima.

Wanita itu sontak cengengesan dan memamerkannya pada Arlan. "Iya, dong. Dipake hari ini doang, besoknya mau saya simpen. Takut rusak." Arlan tertawa mendengar jawaban Mima yang cukup menggelitik baginya.

"Jadi maksudnya hari ini dibawa cuman buat pamer?"

"Iya. Pamer sama Via dan Rosa. Biar mereka iri," jawab Mima tak terduga.

Arlan melipat kedua lengannya didepan dada. "Terus kalo mereka nanya itu dari siapa, kamu jawab gimana? Beli sendiri?" Mima berdeham beberapa saat sebelum akhirnya menjentikkan jari. Arlan menautkan alisnya.

"Dikasih Sugar Daddy!"

Kedua bola mata Arlan membeliak seketika. "Maksud kamu saya sugar Daddy?" Mima memiringkan kepalanya lalu tercengir menampakan deretan gigi putihnya.

"Jokes, Pak, jokes. Tenang aja!"

"Saya pikir saya gak tua-tua amat dan kamu bukan anak baru dewasa sampai saya jadi Sugar Daddy kamu." Mima mencebikkan bibirnya lalu menggedikan bahu.

"Tetep aja Bapak lebih tua dari saya."

"Saya baru 30, Jemima."

Dengan tegas Mima menggeleng lalu menggerakkan telunjuknya ke kiri dan kanan. "Udah 30, Pak. Bukan baru," sanggahnya seolah menegaskan bahwa usia 30 bukan lagi usia muda bagi seorang Arlan.

Padahal Arlan merasa diusianya sekarang dia itu sangat pas dan matang, bukan tua. Kebanyakan pria akan menunjukan pesonanya diusia-usia welldone.

"Udahlah, ayo berangkat!" Lagi-lagi Arlan membukakan pintu mobil untuk Mima, hal yang sebenarnya Mima pikir tidak perlu apalagi mengingat jika Arlan adalah atasannya.

Tapi karena terlanjur, ya, Mima masuk saja.

Sesampainya di kantor, mereka berdua langsung menjadi pusat perhatian orang-orang karena berangkat bersama pagi ini, yang mana tentunya pemandangan tersebut terlihat asing bagi mereka. Rumor kedekatan Arlan dan Mima seolah semakin menguat karena keduanya datang bersama pagi ini, tapi baik Mima maupun Arlan terlihat tidak peduli dan memilih untuk bergegas pergi ke ruangan masing-masing.

Saat melewati koridor, Mima berpapasan dengan Lova. Gadis itu terlihat memasang wajah ketus dengan tatapan mata yang tajam, bahkan dia tidak menyapa para senior seperti biasa serta bersikap acuh tak acuh. Mima sempat bingung dan menatapnya dengan alis terangkat, namun ia menggedikan bahunya serta memilih untuk bersikap tidak peduli seperti sebelumnya.

"Mungkin belom dapet transferan kali, ya? Jadinya badmood."

•Beloved Staff•

"Edan banget emang! Pak Arlan gak ada bosen-bosennya ya, jadi cowok ganteng?" celetukan Via membuat Mima mengalihkan perhatiannya ke luar ruangan ---dimana ada Arlan yang sedang berbincang dengan beberapa orang, seperti sedang membicarakan sesuatu yang serius.

"Si Marco juga ganteng kali, Vi!" timpalnya membuat Via yang tadinya sedang asyik memandangi sosok Arlan sambil bertopang dagu, seketika menatap Mima dengan mata menyipit.

"Lo tuh ngerti definisi ganteng yang sesungguhnya gak, sih? Maksud gue itu bukan ganteng yang ngandelin visual doang. Pak Arlan itu paket komplit, kece iya, berduit iya, gentleman iya, kalo masalah visual jangan ditanya, deh. Badannya juga bagus begitu." Mima ikut memandangi Arlan yang saat ini tengah tertawa dengan lawan bicaranya. Ya, memang akui kalau Arlan itu bisa dibilang paket komplit, tapi Via tidak tahu saja sisi negatif pria yang satu itu.

Jadi intinya manusia itu tidak ada yang sempurna. Mau mukanya seganteng atau secantik apapun, kalau kentut juga bau.

"Si Marco 'kan juga pinter, Vi. Dia juga anaknya wakil DPR, 'kan? Nah, tuh berduit!"

My Beloved Staff (TAMAT)Where stories live. Discover now