"I'm sorry..." ucap Ammar lagi. I'm sorry, I'm sorry, I'm sorry, I'm s-..." Meera langsung membekap mulut Ammar untuk menghentikan permintaan maaf itu. "FineYou're forgiven. Puas? Aku hanya masih lelah karena semalam, Ammar. Karena itu aku mau pulang sekarang."

Tapi Ammar tak juga melepaskan genggaman mereka. "Lalu kenapa kemari?"


Meera mengangkat bahu. "Hanya ingin menemuimu. Tadinya aku datang kesatuan, tapi saat aku ke sana, mereka bilang Mayor Raichand sedang ke rumah sakit untuk pengecekkan kesehatan rutin. Aku menghubungimu, tapi kau pun tak mengangkat telepon. Jadi akhirnya aku memutuskan ke sini dan tidak tau kau sedang dalam percakapan intens dengan doktermu."


"Hei.. dekho." Ammar menangkup wajah Meera di kedua tangannya, menatap gadis itu dengan lekat. "Lagi-lagi aku harus meminta maaf padamu, Meera. Tapi jangan memotongku kali ini. Dengarkan dulu penjelasanku." Ammar menatap Meera dengan serius.

"Maaf, aku mengatakan tindakanmu menciumku adalah hal bodoh. Aku tidak bermaksud mengejekmu, aku sebenarnya mengumpat padamu, kenapa kau malah memberikan cintamu pada orang sepertiku ini, Meera? Tapi aku sama sekali tak menyesali tindakanmu dan apa yang kita perbuat, sehingga menjadi perbincangan tamu undangan di pernikahan sahabat kita itu." Ia menyunggingkan senyum yang membuat wajah Meera memerah, karena teringat kembali kerjadian tersebut. 

"Lalu maaf ponselku tertinggal di kantor, Sayang. Aku jadi tak bisa mengangkat telepon darimu. Dan permintaan maaf yang terakhir... Maafkan aku, kau tadi harus mendengar semua percakapan yang seharusnya bisa aku bicarakan langsung padamu, Meera. Yang malah bercerita dan meminta pendapat dari Naina. Ini benar-benar kesalah besarku."


Meera terdiam, menatap Ammar dengan intensi yang sama sebelum akhirnya menggeleng pelan. "It's ok.. Aku sudah memaafkanmu. Semua itu juga bukan hal yang harus terus diperdebatkan. Kalau untuk permintaan maaf terakhirmu, menurutku semua orang bahkan tentara sekalipun memang butuh teman bicara. Aku tau kau selalu bercerita pada dr. Naina. Dia sudah menjadi bagian dari langkah hidupmu selama ini, Ammar." Ia menyunggingkan senyum dan kembali menggenggam tangan laki-laki berseragam loreng di depannya. "Tapi mulai saat ini, ijinkan aku yang menjadi pendengar pertama dari segala keluh kesahmu. Apalagi jika itu tentang kita.."


Ammar kini ikut tersenyum, senyumnya lebih lebar dari biasanya. Lalu ia mengangguk dan mengecup pucuk kepala Meera dengan sayang. "Of course.."


"Baiklah, sekarang aku pulang." Ucap Meera, tapi karena kedua tangannya masih digenggam Ammar, ia tak bisa pergi kemanapun. "Ammar!"


"Kau salah jalan, Nona.. Motorku di sebelah sini. Lagipula masih banyak yang harus kita bicarakan." Ammar menarik Meera ke arah yang berlawanan. "M-motor? tapi mobilku- Ammar!"


"Nanti saja kita mengambilnya, Baby.."

Begitu terlihat motor Yezdi di depan mereka, sebuah motor bergaya klasik dan retro, Ammar langsung memakai kacamata hitam dan sarung tangannya sebelum menaiki motor tersebut.


"Kau benar-benar membawa motor?"


"Haan.. Kau belum pernah melihatnya? Sebenarnya aku lebih sering mengendarai ini daripada mobilku." jawab Ammar. "Kenapa hanya berdiri disitu? Ayo naik." Ajak Ammar, tapi wajah Meera terlihat ragu.

INCOMPLETED LOVE [✓]Kde žijí příběhy. Začni objevovat