feelings are fatal

En başından başla
                                    

Mulut Sunghoon terbuka, seperti ia mengatakan ah namun tanpa suara. Lalu perhatiannya kembali tertuju pada Jake, "Oh iya, Jaeyun ," Panggilan itu lagi. Jake menggigit bibir bawahnya, berpikir itu akan mengurangi canggung yang ia rasakan saat ini. "Selamat ya, denger-denger kamu sempet jadi teacher of the year di situ."

Ia tertawa lemah, "Ah, it's nothing, really."

Pria yang lebih tua kembali terduduk, seolah ingin memberi Jake ruang untuk bertemu teman lamanya tanpa harus ia interupsi, meski sebenarnya Jake sendiri tidak keberatan bila Heeseung ikut serta ke dalam pembicaraan mereka.

───────────────────────

Menurutnya, perasaan cemburu memiliki rasa yang sama persis seperti jika ia tak sengaja mengunyah kulit jeruk yang belum terkelupas sempurna, memenuhi mulutnya dengan rasa asam dan pahit.

Dari sini ia dapat melihat bagaimana akrab keduanya berbincang. Sesekali pemuda bernama Sunghoon itu mengulurkan tangannya dan menyentuh lengan Jake ringan di sela-sela pembicaraan mereka. Ia tak tahu ekspresi yang Jake tunjukkan saat ini karena Jake berdiri membelakanginya, namun Heeseung dapat dengan jelas melihat bagaimana cara pemuda bernama Park Sunghoon tersebut menatap Jake. Seperti Jake adalah sesuatu yang berharga yang sudah lama menghilang lalu ditemukan kembali.

Heeseung menarik nafasnya dalam-dalam dan memutuskan mengalihkan pandangannya. Konyol, pikirnya, untuk merasa cemburu kepada seseorang yang baru saja ia temui. Kekanakan, bahkan. Heeseung hampir saja mendengus kalau saja ia hanya sendirian di situ. Masalahnya, ia bahkan belum menyatakan perasaannya pada Jake secara terang-terangan. Jadi seharusnya ia tak pantas merasa cemburu, bukan? Pada akhirnya ini semua adalah bagian dari kesalahannya juga.

Ia menegak sisa minuman di cangkir, ingin menetralkan rasa asam dan pahit di mulutnya menjadi sesuatu yang lebih manis. Namun alisnya mengernyit ketika itu tidak sesuai dengan ekspektasi, lidahnya bertemu dengan rasa pahit yang lebih pekat. Ah, ia lupa kalau tadi ia memesan secangkir cold brew. Seperti memang Heeseung dipaksa untuk merasakan kepahitan ini.

Minuman dengan kadar kafein tinggi sudah tidak asing lagi untuknya — Heeseung sendiri sedikit heran mengapa lambungnya tetap baik-baik saja sekalipun ia mengonsumsi kafein beberapa kali dalam sehari, dan itu sudah ia lakukan selama bertahun-tahun.

Ini bahkan bukan yang paling buruk. Dulu ketika ia masih menjadi mahasiswa, ia sempat menegak sekaleng kopi murahan yang ia campur dengan minuman berenergi saat mengerjakan tesisnya di samping kerja paruh waktu. Ia akui ia cukup nekat kala itu dan tak mau ambil pusing.

Tetapi saat itu ia masih muda. Satu bucket es krim tidak membuatnya sakit perut, dan ia bisa memakan makanan berlemak beberapa kali dalam seminggu dan merasa baik-baik saja. Satu-satunya indikasi bahwa tubuhnya memberontak hanyalah jerawat hormonal yang timbul di beberapa titik di wajahnya. Tetapi hanya itu saja.

Kini, di usianya yang lebih mendekati angka 35 ketimbang 30, Heeseung telah kehilangan banyak hal dibanding ketika ia masih ada di awal 20-an. Seperti bagaimana tiap pagi ia melihat bertambahnya helai rambut rontok yang ada di bantalnya, leher dan pundaknya yang rentan terhadap rasa kaku jika ia terlalu lama duduk di kantornya, atau bunyi sendi di lututnya ketika ia terlalu banyak naik-turun tangga.

Jadi, Heeseung yakin, suatu saat nanti ia juga akan kehilangan resistansi di lambungnya jika pola hidupnya berlanjut seperti ini. Namun bagaimana ia bisa berhenti ketika di ruangannya masih terdapat banyak setumpukan proposal novel lainnya yang menunggu untuk ia baca dan beri persetujuan untuk diterbitkan atau tidak, masih ada tim yang harus ia pimpin dan editor serta staff-staff lainnya yang perlu ia beri arahan, dan masih ada lagi sederetan acara konferensi penerbit buku yang harus ia hadiri setiap tahunnya.

someone to take you home | HEEJAKEHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin