"Aku serius, Rebecca," kata Zayn dengan berat hati. "Kita harus berpisah. Manajemenku yang mengharuskanku berkata seperti itu."

Rebecca diam dan tidak menjawab. Zayn semakin tidak tahu harus mengucapkan apa pada gadis itu. "Jangan berpikir kalau aku tidak memikirkan ini dengan matang. Aku juga terpaksa."

"Memangnya tidak bisa menolak sama sekali? Aku tidak mau berpisah denganmu, Zayn." ucap Rebecca lemah. Semangat yang daritadi terdapat di dalam suaranya sudah lenyap tak bersisa.

"Aku sudah mencobanya, tapi memang tidak bisa. Aku tidak mau kau yang menderita kalau tetap melanjutkan hubunganmu denganku."

Rebecca terisak kemudian. "Lebih baik aku menderita tapi bersamamu daripada aku harus menjalani hidupku sendiri. I thought we're a team..."

Perih di dada Zayn rasanya sudah menyebar ke seluruh tubuh. Lidahnya kelu, tidak siap kalau harus menghujani Rebecca dengan kalimat paksaan yang justru malah menusuk gadisnya. "Aku... Aku..." kata Zayn terbata-bata.

"Kau sendiri yang bilang padaku untuk tidak mempedulikan apa kata orang. Kau sendiri, Zayn. Apa kau sudah lupa?"

Zayn reflek menggeleng, lupa bahwa Rebecca tidak bisa melihatnya. Ia tidak akan pernah lupa dengan semua janjinya pada Rebecca. Kalau saja Rebecca ada di sini dan melihat bagaimana tersiksanya Zayn, mungkin Rebecca bisa lebih mengerti. "Aku tidak mungkin lupa dengan semuanya. Ini bukan masalah apa kata orang, tapi bagaimana jadinya kalau kau tetap ngotot untuk bersamaku. Aku tidak mau kau dibenci semua orang karena bersamaku."

Rebecca diam. Ada jeda yang lama di sana. Di saat yang sama, Zayn mendengar Rebecca menangis. Hati Zayn sudah tidak tahu seperti apa lagi bentuknya. Kalau ia sudah membuat Rebecca menangis, artinya ia sudah melewati batas. Zayn memang tidak pernah bisa bersikap baik pada gadis itu.

Semenit kemudian, tangisan itu tidak terdengar. "Baiklah kalau memang kita harus sampai di sini," gumam Rebecca. "Memaksamu pun tidak ada gunanya. Kalau ini sudah jalan terbaik bagi kita, aku tidak apa-apa."

Dunia Zayn berhenti berputar dan Zayn tidak mampu berkata-kata lebih jauh lagi. Kenyataan yang pahit ini bukan apa-apa dibanding dengan bayangan tentang apa yang akan terjadi kalau Rebecca tetap bersamanya. 

"Maaf, Zayn, aku tidak punya banyak waktu. Kuharap kita bisa bertemu lagi. Terima kasih atas semuanya."

Zayn baru akan membalas kalimat Rebecca tapi sambungannya sudah terputus. Ia mengumpat dalam hati dan menyegerakan diri untuk pulang. Di jalan, Zayn masih berusaha menelepon Rebecca lagi karena belum sempat meminta maaf pada Rebecca, sayangnya ponsel Rebecca sudah tidak aktif.

Beberapa hari setelahnya, Zayn masih berusaha menghubungi Rebecca. Usahanya kian lama kian berkurang karena manajemen Zayn berusaha menyibukkan dirinya. Ditambah lagi, Zayn sekarang sudah dipasangkan dengan seorang gadis yang berasal dari manajemen yang sama, namanya Perrie.

Bagi Zayn, perbedaan antara Perrie dan Rebecca sangatlah menonjol. Perrie bukan tipe orang yang penyabar seperti Rebecca, ia justru benar-benar keras kepala dan sulit untuk mengakui kesalahan. Benar-benar sifat yang tidak bisa disatukan Zayn. Zayn sendiri juga sama-sama keras kepala jadi sulit untuk menyatukan mereka berdua.

Mau tak mau Zayn harus bisa beradaptasi dengan hidupnya yang baru, juga dengan pasangannya. Membohongi diri sendiri memang rasanya sangat menyiksa. Baru berjalan sebulan, Zayn sudah tidak kuat dan berniat untuk meninggalkan Perrie.

"Sedang menelepon siapa?" Perrie mengangkat kedua alisnya curiga.

"Bukan siapa-siapa, teman sekolahku dulu." gumam Zayn sambil menempelkan ponselnya ke telinga.

painkillersWhere stories live. Discover now