Dɪᴠᴇʀᴛɪssᴇᴍᴇɴᴛ - Sᴜʀᴠɪᴠᴇ

12 2 0
                                    

Divertissement: Bagian hiburan atau tarian yang tidak terkait langsung dengan plot utama.

• • •


Satu hal yang paling aku sesali sekarang adalah menjadi tidak netral di antara mereka.

Dalam sebuah pertemanan, akan selalu ada pertengkaran, begitu pula yang terjadi di antara Dion dan Leo. Mereka sahabatku, kami mengenal sejak masih di Taman Kanak-kanak karena tinggal di satu kompleks yang sama.

Kami selalu bertiga bahkan diterima di kampus dan jurusan yang sama, dan sekarang ... saat dunia sudah bisa di anggap menuju kiamat, kami masih bersama. Namun, pertengkaran itu kembali tersulut.

"Sebaiknya kita membuat satu tempat untuk dijadikan benteng dan menetap di sana!" usul Leo dengan suara pelan agar tidak ada monster yang akan mendengar kami.

"Itu hanya akan menjadi kuburan kita. Persediaan terbatas," sergah Dion. Ia sudah siap dengan ransel penuh makanan dan persediaan hidup yang sekiranya berguna nantinya.

"Itu berisiko, kita tidak tahu keadaan di luar bagaimana," bantah Leo.

Hening sesaat ketika Dion lebih memilih menghela napas, lalu menatapku. "Menurutmu bagaimana Lun?"

Aku menimbang sejenak, kedua pilihan sama-sama memiliki risiko. "Mungkin kita harus berjalan dan mencari shelter yang mungkin saja ada di suatu tempat," jawabku.

Dion tersenyum dan mengangguk. "Benar, kan."

"Kamu selalu saja di pihaknya. Sejak dulu." Leo mendengkus gusar. "Aku tidak ikut, kalian saja." Ia berbalik pergi, melewati beberapa monster--kalau di film disebut sebagai zombie--bergeletakan di lantai minimarket tempat kami menjarah kali ini.

"Leo!" panggilku, berusaha menekan nada suara agar tidak telalu berisik, tapi pemuda tinggi dengan anting hitam di satu telinganya itu menolak menoleh apalagi berhenti.

Aku memang sering memihak Dion, tapi bukan karena pilih kasih melainkan dia selalu memberikan ide yang sesuai dengan pemikiranku. Namun, Leo mengartikannya lain.

"Harusnya ini bukan waktunya kita bertengkar," keluhku. "Kita harus selalu bersama karena hanya kita yang tersisa."

Seminggu yang lalu, entah berawal dari mana, tapi satu persatu manusia berubah menjadi zombie dan menyerang manusia lain untuk menularkan virusnya, hingga kiamat yang biasanya kami lihat hanya ada di TV, kini terjadi di dunia nyata.

Saat itu kami bertiga sedang di kampus dan bersyukur dapat pulang di tengah kekacauan, tapi sayangnya orang tua kami sama-sama telah berubah dan ibu Leon bahkan nyaris mau menyerangku.

Di tengah gempuran yang tak habis-habisnya, kami berhasil selamat dan bersembunyi hingga situasi menjadi lebih tenang. Semua berkat kedua sahabatku yang selalu bisa diandalkan untuk hal apa pun.

Leo yang ahli beladiri menjadi kesatria, sedangkan Dion yang cerdas selalu berhasil memberi ide pelarian yang menyelamatkan kami bertiga.

"Mau mengikuti Leo? Pasti dia pulang ke rumahnya," usul Dion dan aku mengangguk.

Kehilangan semua yang aku sayangi sudah lebih dari cukup, aku tidak mau Leo juga pergi. "Iya. Kita masih ada waktu untuk mencari jalan tengahnya."

Matahari sudah hampir lenyap saat kami keluar dari minimarket dengan kedua tangan menjenjeng kantong berisi makanan dan minuman. Langkah begitu pelan, berharap tidak menimbulkan suara.

"Leo cepat sekali jalannya," keluhku saat tidak melihat Leo di kejauhan.

"Dia memang ja-sial!"

Aku berbalik saat Dion mengumpat di belakang. Hampir saja aku menjerit saat melihat satu zombie tanpa kaki sedang merangkak di bawah Dion dengan gigi yang sudah menggigit kaki pemuda berkulit sawo matang itu.

OrchestraHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin