13 | Kompleksitas Satu Waktu

Mulai dari awal
                                    

[Marvel]
Wkwkw. Boleh.
Bilang aja bawa temen biar bisa diajak takut berjemaah, kan?

[Suteja]
Sialan, akal bulusku ketahuan!
Jangan sampai Hakim tau kalau nggak, dia fix nggak bakal mau nemenin aku. Wkwkw.

[Suteja]
Tapi beneran, deh, Kak.
Kenapa situ masih betah stay di sana?

[Marvel]
Emangnya kenapa?

[Suteja]
Berhantu.

[Suteja]
Perumahan elit tempat indekosmu berada, kan, dikasih julukan 'Kampung Keramat' sama warga Malang Raya.

[Suteja]
Masa nggak tau tentang perumahan elit Kaanan Mandar?

[Marvel]
Rumor doang kayaknya.

[Suteja]
Rumor gundulmu!
Orang yang jadi korban aja banyak, kok.

[Marvel]
Itu, kan, pengalaman orang lain.
Buktinya di aku aman-aman aja, Ja.

[Suteja]
Jangan jangan ... situ setan juga, ya?

[Marvel]
Kalau iya, berarti aku setan gaul?
Asyik, dong!

[Suteja]
SETRES!

[Suteja]
15 menitan lagi otw dari tempat kerja paruh waktuku kemarin, Garten House.

[Marvel]
Ok.

[Marvel]
Hati-hati di jalan.
Kabarin kalau udah sampai di depan indekos.

[Suteja]
Oyi.

Setelah bertukar pesan singkat dengan Suteja, aku memutuskan untuk mencari udara segar di luar. Namun, baru saja beranjak dari meja belajar, kaki kananku tanpa sengaja membentur sebuah benda keras dan kokoh yang ada di kolong tempat tidur. Bibirku terkatup, berusaha menahan teriakan agar tidak meluncur bebas dari mulutku akibat rasa sakit yang menjalar di jempol kaki.

"Sial!" umpatku sambil berjingkat-jingkat di sekitar, berharap rasa sakit bisa mereda. Bibirku berdecak kesal, atensiku menatap lurus ke arah kolong tempat tidurku yang gelap. "Barusan benda apa yang aku tendang? Keras banget!"

Kelewat penasaran, kuposisikan tubuhku untuk membungkuk dengan sepasang lutut sebagai tumpuan agar tidak terjerembap. Pandanganku menelusuri setiap inci ruang hitam di bawah kolong tempat tidur, berusaha mencari keberadaan benda misterius-yang membuat jempolku bedenyut-denyut nyilu-dengan tangan kiri yang menjulur ke dalam kegelapan. Setelah merasakan sensasi alami dari dinginnya ubin marmer, lambat laun ujung-ujung jemari tangan yang penuh dengan antusias tinggi tersebut, menemukan tekstur permukaan benda yang lembut dan juga serat-serat kayu yang khas membentuk lintasan garis waktu.

Sepertinya ini adalah papan permainan berbahan kayu yang aku temukan di gudang bawah tanah indekos ini waktu itu, monologku singkat dalam hati.

Rasanya tidak mudah membebaskan papan permainan tersebut dari ruang gelap. Aku memang berhasil meraihnya, tapi tidak untuk menariknya ke luar, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya dari arah berlawanan. Saking kuatnya tarikan lawan, membuat tangan kananku meraih pinggiran dipan untuk bertahan.

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang