35. Mempertanyakan Perasaan

1.4K 99 19
                                    

"Nghh... uhuk! Uhukk!"

Sepagian ini suhu tubuh Langit memang turun, tapi justru batuknya belum juga mereda dan terlihat mmeburuk. Dokter Faizal sudah datang dan memriksa, rupanya demam yang sebelumnya berbuntut pada gejala radang tenggorokan. Atau bisa saja itu juga merujuk pada radang paru-paru.

"Uhukk!" Langit menekan dadanya yang berguncang, "iya, di crosscheck lagi nanti sama Om Badrun. Laporan cleaning nya juga tolong-uhukk..."

Ponsel di tangannya dijauhkan sesaat. Batuknya memang cukup mengganggu dan lagi mulai merasa sesak sekarang.

"Saya akan tangangi masalah ini, Pak. Lebih baik Pak Langit istirahat saja dulu sampai benar-benar membaik."

Lingga benar. Saat ini Langit memang cukup kepayahan atas kondisinya yang memburuk. Biasanya ada Lingga yang membantu mengurus keperluan rumah sakit, tapi semenjak bersama Kinar yang Langit pikirkan hanya berindak seefisien mungkin. Sebisanya tidak sampai membuat repot siapapun.

"Kalau begitu—uhukk... tolong ya. Nanti laporannya...." sekali lagi Langit menjauhkan ponsel dari telinganya. Menekan dada hingga sesaknya mereda.

"Pak, saya—"

Langit terkejut saat ponsel di tangannya diambil alih begitu saja. Wajah galak Kinar langsung menyambutnya begitu dirinya mengangkat pandangan. "Siapa yang kasih Mas Langit urus-urus kerjaan?"

"Kin... itu Lingga, dia—uhukk...uhukkk..." sepertinya batuknya memburuk sampai Langit berguling kesisi ranjang untuk memalingkan wajah. "Uughh...."

Mungkin juga itu adalah suatu keberuntungan karena setelah menilik kondisi Langit yang seperti itu, Kinar mengurungkan niatnya untuk mengomel. Diraihnya lengan Langit untuk dibawa duduk tegak kembali dengan menumpu pada kepala ranjang.

"Tenggorokannya masih sakit? Panas?"

Susah payah Langit menggeleng, "engh—uhukk..." tangannya meremas dada. Berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengeluh.

"Mas?" Kinar menangkup wajah Langit, "di uap lagi aja ya?"

Langit mengangguk diantara suara batuknya yang tidak juga mereda. Dan satu anggukan itu saja cukup untuk membuat Kinar bergerak membuka kabinet dimana tabung oksigen portabel milik Langit disimpan. Mengulur selangnya lalu menyambungkan dengan masker oksigen bening dengan tabung berbahan semi plastik gelembung diujungnya.

"Tarik napas yang dalam," pinta Kinar sewaktu memasangkan masker oksigen bening tersebut diwajah Langit.

Katup oksigen diputar dan Langit langsung menggelegak karena terkejut. Ritme napasnya menjadi lebih cepat. Semburan gas oksigen murninya membuat dada Langit mengembang tinggi. Dengan sabar Kinar manunggu hingga tubuh Langit melemas sepenuhnya.

"Lebih baik?"

Langit mengangguk, "hmm... ma—aashhh..."

"Nggak perlu makasih," gumam Kinar lalu melihat Langit yang seperti tidak nyaman dengan posisi menyandarnya. "Sini,"

Pinggang Langit direngkuh lembut lalu ditariknya hingga Langit berada dalam dekapan Kinar. Kinar mengelusi punggung Langit hingga sepenuhnya relax dan baru perlahan-lahan menuntunnya untuk berbaring dan merebah.

"Jangan main hp apalagi sampai bahas-bahas kerjaan." Kinar serius, bahkan sampai menjauhkan ponsel milik Langit. "Ini aku sita sampai Mas Langit sembuh pokoknya. Lingga kalau ada apa-apa biar telepon ke aku aja."

Tidak ada protes ataupun keberatan yang Langit katakan. Napasnya yang terhela dalam membuat Kinar berinisiatif mengurut lembut area tengah tulang dada sesuai apa yang Dokter Faizal sarankan. Mengurutnya naik dan turun seiring dengan tarikan dan hembusan napas Langit yang perlahan membaik.

Istri Untuk Mas Langit [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon