"Itu, loh, pas aku telepon buat bahas lukisan kakak yang dibeli seharga 23 juta. Inget, nggak?"

Aku mencoba mengingat kejadian tiga hari lalu sebelum menjawab pertanyaan Suteja. "Oh, itu! Si Gael tiba-tiba ketuk pintu kamar, terus diajak beres-beres indekos sama anak-anak lain. Jangan bilang kamu masih ada di dalam panggilan?" Bodohnya, Suteja mengangguk. Hal itu membuatku terkekeh kecil. "Ngapain nggak diakhiri aja panggilannya, Ja?"

"Ya, habisnya situ bilang suruh tunggu. Ya, mau nggak mau aku tunggu. Cuman pas dengar suara aneh, buru-buru panggilannya aku tutup."

"Hah? Suara aneh?" Suteja manggut-manggut, membuatku bertanya penasaran. "Suara aneh apa, Ja?"

Suteja terdiam sejenak, berusaha mendeskripsikan apa yang dia dengar waktu itu. "Gimana, ya, jelasinnya ... pokoknya setelah kamu bilang suruh tunggu bentar, aku manut. Eh, tiba-tiba ada suara gemeresik. Awalnya, suaranya itu lirih, tapi makin lama jadi berisik kayak ada suara gemeresik lain yang ikutan join. Kukira earphone-ku rusak, jadi aku coba buat lepas-pasang di perangkat elektronik lainnya. Eh, ternyata malah aman-aman aja. Lambat laun suara berisik itu makin gaduh dan alhasil aku tutup panggilan karena ... seram?"

"Hah?" Aku cengo sesat lalu memukul punggung Suteja hingga berbunyi nyaring setelah itu akibat kesal dengan ucapan-ucapan pemuda tersebut yang selalu menggantung. "Ja, kalau ngomong bisa nggak, sih, langsung full tanpa harus dijeda-jeda dan bikin orang penasaran?!"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Suteja malah menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan galeri rekaman suara. Alisku bertaut, belum sempat aku membuka mulut untuk bertanya padanya lebih lanjut, Suteja menyerahkan earphone-nya padaku.

"Nggak usah banyak tanya, mending dengerin sendiri, ok? Aku tinggal dulu, Kak. Sejam lagi shift-ku kelar. Jadi daripada pesen ojek online, mending nebeng aku aja. Sekalian aku mau nyamperin Gael. Sekali-kali anak orang kaya hemat dan buang gengsi naik motor Astrea bakalan aman-aman aja, kan?"

Sebelum aku mendaratkan pukulan lagi, Suteja sudah lari terbirit-birit meninggalkanku seorang diri. Sepeninggal Suteja, kukaitkan earphone di runguku, ibu jariku pun bergerak menekan tombol play pada rekaman suara teratas. Seperti yang dikatakan Suteja, suara gemeresik itu ada. Seiring berjalannya waktu, gemeresik berubah menjadi berisik yang riuh lalu berakhir dengan dengungan panjang yang memekakkan telinga hingga membuatku meringis. Dalam waktu bersamaan, lampu penerangan di dalam kafe satu per satu mulai bergerak fluktuaktif. Namun, para pengunjung sama sekali tidak terganggu akan hal itu dan malah asyik bercengkerama seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Gemerisik kembali hadir, diikuti dengan penerangan sekitar yang meredup secara bergantian. Remang-remang cahaya di bawah senja, menimbulkan rona merah, bayangan pelanggan yang tercetak di lantai pun terlihat seperti melayang di lautan merah. Entah sebuah kebetulan, aku merasa deja vu. Deja vu akan kejadian yang terjadi saat aku mendapatkan perawatan intensif di Jakarta beberapa waktu lalu. Sekon-sekon sebelum rekaman suara berakhir, dengung panjang tersebut kembali terdengar. Namun, kali ini diikuti dengan suara rintihan yang saling bersahut-sahutan begitu mengerikan. Tidak mau terjebak dalam ketakutan yang makin mengakar, buru-buru saja kulepaskan earphone lalu mendorong benda tersebut menjauh bersamaan dengan ponsel milik Suteja yang jatuh ke lantai. Bak silap mata, atmosfer sekitar yang singgah untuk menggentarkan dalam beberapa sekon lalu, tidak lagi terasa. Rasa hangat kembali menyelimuti atmosfer kafe dengan senda gurau pelanggan.

Kulirik arloji yang melingkar manis di lengan kiri, jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Segera kuurungkan niat hati untuk menghabiskan waktu sampai kafe selesai beroperasi hari ini. Tanganku bergerak untuk membereskan barang pribadi di atas meja lalu memasukkannya ke dalam ransel. Kedua tungkaiku bergegas menghampiri Suteja yang keheranan lalu menyerahkan ponsel dan earphone miliknya sebelum pergi.

"Loh, Kak Marvel! Jadinya mau balik sekarang?" Aku manggut-manggut, ekspresi Suteja terlihat sedih. "Yah, padahal mau nganterin sekaligus mampir ke indekosmu, Kak."

"Kalau mau mampir, mampir aja, Ja. Nggak ada yang ngelarang. Cuman kabarin aja kalau udah di depan, biar aku samperin. Kutunggu di indekos, ya!"

"Shareloc, ya! Aku agak lupa karena udah nggak main ke sana lama, ada kali hampir sembilan bulan?"

Tanpa berpaling, aku mengacungkan kedua jempolku ke arah Suteja sambil berjalan ke luar. Begitu melihat ojek online yang kupesan sudah datang, aku bergegas mendaratkan pantatku di kursi mobil belakang dengan debaran dada yang tidak bisa disembunyikan. Saat mobil melaju meninggalkan kafe, secara bersamaan bisa kulihat seluruh atensi penghuni kafe secara serempak mengekoriku. Bulu kudukku meremang kala menyaksikan beberapa kepala orang-orang yang duduk membelakangiku berputar 180° seolah-olah leher mereka elastis. Dari semua orang yang ada di sana, hanya Suteja yang keheranan sambil melambaikan tangan ke arahku itu terlihat normal di mataku.

 Dari semua orang yang ada di sana, hanya Suteja yang keheranan sambil melambaikan tangan ke arahku itu terlihat normal di mataku

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

Catatan Kaki:
¹⁷Setiap hari skripsian terus apa masih waras

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Kde žijí příběhy. Začni objevovat