Someone You Wanna Hug

3 2 0
                                    

Ada manusia yang ingin aku peluk
Tapi aku malu.

Bapak-Iksan Skuter

Kamu menatap potret lama yang selalu tersimpan apik di dalam dompetmu—seorang laki-laki dewasa bersama bocah perempuan bergaun merah. Senyum lebar terpatri di sana, dengan pelukan hangat di antara keduanya. Kamu mengingatnya, itu saat kamu berusia lima. Pamanmu datang membawa kamera baru, dan kamu dibuat penasaran apa fungsi dari benda kotak yang sesekali dapat memancarkan cahaya menyilaukan itu. Kamu tersenyum malu-malu saat pamanmu mengarahkan kamera ke arahmu. Dengan cepat kamu bersembunyi dalam dekapan bapakmu, mengintip seolah kamu ingin dibujuk agar berani.

"Nggak usah malu. Kalau nggak berani sendiri, ayo, sama Bapak." Kalimat itu menguatkanmu. Meski rasa takut tak sepenuhnya menghilang, setidaknya kamu tak sendirian. Kamu berdiri di depan bapakmu yang sedang duduk, lalu kamu genggam tangan hangat milik bapak supaya memelukmu. Bibirmu tertarik ke atas, membentuk sebuah garis yang membuat parasmu semakin ayu. Sejauh yang kamu ingat, potret itu menjadi satu-satunya kenangan yang kamu punya dengan bapakmu.

Ketika "dewasa" tanpa sadar telah tersemat pada dirimu, entah sejak kapan membentangkan jarak yang begitu besar. Kamu bahkan lupa, kapan terakhir kali dapat berbincang dan duduk berdua dengan bapakmu. Tak lagi ada omelan ketika kamu begadang. Tak ada lagi ucapan selamat tidur dan usapan yang menenangkan. Tak ada yang menggendongmu ketika kamu tertidur di depan televisi yang masih menyala. Bagaikan orang asing yang tak pernah berkenalan, tegur sapa menjadi sebuah hal yang membuatmu sungkan.

Delapan belas usia saat kamu memutuskan untuk berkelana ke dunia luar, meninggalkan rumah yang dipenuhi cinta sebagai obat segala gundah dan lelah. Kamu sering menelpon ibumu, bercerita tentang hari-hari yang telah kamu lalui. Akan tetapi, bapak jarang sekali masuk dalam obrolan rutinmu. Semakin tinggi saja benteng yang kamu bangun di dalam hatimu.

Kamu mengenal cinta ketika memasuki usia dua puluh. Pemuda pertama yang membuatmu memikirkan banyak kemungkinan dan ketidakmungkinan yang menakutkan. Kala itu, kamu merindukan pelukan bapak yang membuatmu menjadi lebih berani. Banyak hal yang ingin kamu sampaikan pada bapakmu, tetapi gengsi selalu saja membuat kata-katamu kembali tertelan di kerongkongan.

Kamu merindukan sosok pahlawanmu, yang tak pernah sekali pun marah saat berulang kali kamu menjatuhkan alas kaki ketika tertidur saat dibonceng motor. Kamu merindukan cerita-cerita dari bapak tentang banyak hal menakjubkan, yang membuat rasa ingin tahumu meluap-luap tak karuan. Kamu merindukan segalanya tentang bapak yang selama ini kamu abaikan—jauh dan asing.

Kini, kamu telah mencapai seperempat abad. Orang-orang memandangmu dengan tatapan "wah, nggak nyangka kamu sudah dewasa sekarang". Kamu merasa sudah bisa berdiri kokoh dengan kakimu sendiri. Mencoba memberi kebahagiaan pada orang-orang di sekitarmu. Namun, lubang di dalam hatimu masih saja menganga. Kamu biarkan begitu saja meskipun tahu penawarnya.

Rumah itu masih sama seperti saat terakhir kali kamu meninggalkannya, hanya gentingnya terlihat sedikit usang termakan usia. Kamu tatap punggung tegap bapakmu meski usianya mulai senja. Apakah dekapannya masih sehangat saat kamu masih belia?

"Aku pulang." Kamu tak pernah tahu sebelumnya, dua kalimat itu begitu melegakan hatimu.



-end of this (very short) story-

Someone You Wanna HugWhere stories live. Discover now